DEMOKRASI.CO.ID - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan 36 perkara di tahap penyelidikan.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mempertanyakan apakah KPK telah menggelar perkara sebelum menghentikan 36 perkara di tahap penyelidikan atau tidak.
"Proses penghentian perkara di ranah penyelidikan mestinya melalui gelar perkara yang mana melibatkan setiap unsur, mulai dari tim penyelidik, tim penyidik, hingga tim penuntut umum. Apabila ke-36 kasus tersebut dihentikan oleh KPK, apakah sudah melalui mekanisme gelar perkara?" ucap Wana Alamsyah, Jumat (21/2).
Pertanyaan itu pun muncul lantaran ICW melihat kejanggalan. Dimana, 36 perkara di tahap penyelidikan yang dihentikan merupakan yang melibatkan kepala daerah, aparat penegak hukum dan anggota legislatif.
"Jangan sampai pimpinan KPK melakukan abuse of power dalam memutuskan penghentian perkara. Apalagi Ketua KPK (Firli Bahuri) merupakan polisi aktif sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan pada saat menghentikan kasus tersebut terutama yang diduga melibatkan unsur penegak hukum," tutur Wana Alamsyah.
Apalagi, pimpinan KPK era Firli Bahuri saat ini merupakan paling banyak menghentikan perkara di tahap penyelidikan dibanding dengan pimpinan KPK sebelumnya.
Dimana sejak 2016 terdapat 162 kasus yang dihentikan. Wana Alamsyah menilai jika dirata-rata kasus yang dihentikan setiap bulannya sekitar 2 kasus.
"Tapi sejak pimpinan baru dilantik (20 Desember 2019), sudah ada 36 kasus yang dihentikan atau sekitar 18 kasus per-bulannya. Sedangkan jika dibandingkan dengan kinerja penindakan, belum ada satupun kasus yang disidik di era pimpinan saat ini. Sebab, kasus OTT Bupati Sidoarjo dan juga OTT salah satu komisioner KPU bukan merupakan hasil pimpinan KPK saat ini," tutupnya.