ADA tiga hal menarik dalam perkembangan BPJS kini, yaitu tingginya insentif pimpinan BPJS hingga mencapai ratusan juta per bulan. Lalu utang besar BPJS kepada rumah sakit atau jasa kesehatan jumlahnya belasan triliun rupiah. Serta kesulitan warga atau peserta yang berkewajiban membayar iuran BPJS.
Soal pertama, meski dibantah, tapi belum ada pembuktian berapa sebenarnya yang ditetapkan sebagai gaji khususnya pengawas dan direksi. Menurut anggota DPR RI, Dewi Asmara, merujuk RKA 2019 BPJS Kesehatan maka insentif 8 orang direksi masing masing mendapat 341 juta/bulan. Sedangkan 7 orang pengawas 2,5 miliar rupiah.
Soal kedua, utang besar kepada RS mitra yang jatuh tempo 31 Desember 2019 berjumlah Rp 14 triliun. Meski pihak BPJS meyakini dapat melunasi sampai akhir tahun 2020, tapi itu dengan asumsi iuran kenaikan tarif 100 persen berjalan lancar. Peserta membayar secara disiplin. Terlaksanakah?
Soal ketiga yaitu kemampuan membayar peserta BPJS. Pada umumnya seseorang atau keluarga baru merasa penting membayar iuran jika telah menjadi pasien dokter atau rumah sakit. Faktanya penunggak juga cukup besar, mencapai Rp 10 triliun. Untuk tahun anggaran 2020 Pemerintah menyiapkan Rp 48 triliun untuk menutupi tekor BPJS.
Persoalan kemampuan bayar peserta menjadi masalah utama. Banyak yang mengeluh tak bisa bayar tunggakan.
Seorang teman merasa gelisah menerima tagihan 6 juta tanpa berobat sekalipun. Ia menunjukkan lainnya yang ditagih kader BPJS Rp 8 juta, padahal ia hanya guru honorer. Ada juga yang lebih dari angka itu. Mereka semua merasa tertekan.
BPJS yang tak jelas "jender" nya, asuransi atau jaminan kesehatan. Kini bagi peserta malah sudah seperti pajak. Dikejar kejar dan bersanksi. Konon polisi akan diminta bantuan juga untuk menagih.
Sebagai perjanjian semestinya tidak boleh diperlakukan seperti menagih pajak. Jika tak mampu ya cukup tidak dapat pelayanan saja. Jika semakin banyak penunggak dan BPJS semakin akut penyakitnya, bukan tak mungkin program ini akan dievaluasi. Artinya BPJS bisa bubar.
Pemerintah punya pekerjaan rumah berat untuk antisipasi jebol besar lagi dari program yang gagal. Kasus Asuransi Jiwasraya, ASABRI, Taspen, dan lainnya membuktikan semrawutnya penataan dan pengelolaan keuangan negara. Di kalangan dokter pun tak sedikit keluhan atas imbalan minim yang diterima.
BPJS termasuk program rentan. Tampaknya ada salah hitung dan ada pula salah manajemen. Yang jelas program itu dinilai asal-asalan.
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik