DEMOKRASI.CO.ID - Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) terdapat beberapa hal yang merugikan pekerja, salah satunya soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang memungkinkan dilakukan secara massal. Padahal sebelum adanya RUU Cilaka, PHK sudah terjadi di mana-mana.
Dalam waktu enam bulan terakhir saja terjadi PHK yang melibatkan ratusan hingga ribuan karyawan di sejumlah perusahaan. Terbaru perusahaan yang melakukan PHK adalah Indosat Ooredoo.
President Director & CEO Indosat Ooredoo Ahmad Al-Neama mengatakan per 14 Februari 2020 ada 677 karyawan yang diberhentikan. Ia mengklaim lebih dari 80 persen telah setuju dan menerima paket kompensasi.
Pada September 2019 perusahaan startup Bukalapak yang memiliki 2.500 karyawan juga melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya dengan dalih penataan internal.
"Sudah lazim untuk perusahaan manapun melakukan penataan internal secara strategis untuk mendukung implementasi strategi bisnisnya. Demikian pula dengan Bukalapak," sebut Bukalapak dalam keterangan tertulisnya.
Kemudian pada Agustus 2019, PT Net Mediatama yang menaungi Net TV juga melakukan PHK terhadap karyawan mereka.
COO PT NET Mediatama Indonesia Azuan Syahril kala itu menampik efisiensi karyawan yang dilakukan perusahaanya disebut sebagai PHK massal. Yang terjadi, kata dia, adalah mekanisme penawaran mengundurkan diri kepada karyawannya.
"Sekarang ini yang mengundurkan diri sudah 20-an di bulan ini. Begitu kami beri penawaran, mereka langsung respons," kata Azuan seperti dikutip Kompas.com, Jumat (9/8/2019).
Di bulan yang sama, industri media kembali terkena imbas PHK. Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara melakukan PHK terhadap puluhan karyawannya.
Serikat Pekerja (SP) Antara mengecam PHK yang dilakukan oleh direksi Perum LKBN Antara terhadap 32 karyawan tetap perusahaan pelat merah tersebut.
"Kami sangat mengecam kebijakan PHK Paksa oleh direksi Perum LKBN Antara yang dikeluarkan tanpa pemberitahuan dan pembicaraan sebelumnya dengan Serikat Pekerja Antara sesuai amanah PKB Perum LKBN Antara," kata Ketua SP Antara Abdul Gofur di Jakarta, Sabtu (17/8/2019).
Sementara di Jawa Barat, gelombang PHK massal terjadi pada industri tekstil dari Januari 2018 hingga September 2019. Dalam jangka waktu tersebut tercatat ada 188 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jabar yang dinyatakan bangkrut dan relokasi dari provinsi tersebut ke Provinsi Jawa Tengah.
"Akibat gulung tikarnya 188 pabrik garmen tersebut sebanyak 68 ribu lebih pegawai terkena PHK," kata Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Hemasari Dharmabuni, Jumat (4/10/2019) seperti dikutip Antara.
Sedangkan di Batam menurut Dinas Tenaga Kerja setempat sepanjang semester I-2019 ada sedikitnya 900 orang yang kehilangan pekerjaan akibat ditutupnya 27 perusahaan di Kota Batam, Kepulauan Riau.
"Total dari awal tahun sampai Juni 2019 ada 27 perusahaan tutup, sekitar 900 orang kehilangan pekerjaan," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam Rudi Sakyakirti pada Senin (26/92019).
Data itu, menurut dia, belum mencakup dampak rencana penutupan PT Foster Elektronik Indonesia dan PT Unisem. Dua perusahaan dengan jumlah pekerja 1.000 orang lebih itu dikabarkan akan tutup tahun ini dan tahun depan.
"Foster belum termasuk, karena laporannya belum disampaikan ke kami," kata dia.
PHK Massal Makin Dimuluskan
PHK massal yang terjadi di sejumlah daerah dan perusahaan sebelum adanya RUU Cipta Kerja, kemungkinan akan terus terjadi dan semakin dimudahkan dengan adanya Omnibus Law tersebut.
Pada RUU Cilaka ini, banyak hak-hak buruh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah satu peraturan yang merugikan pekerja itu adalah soal PHK.
Dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat ketentuan bahwa: "Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja."
Pasal selanjutnya menyebutkan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah itu dirundingkan dengan serikat buruh, dan jika tak menemui kata sepakat juga, maka itu diselesaikan lewat pengadilan hubungan industrial.
Pasal-pasal diubah dalam draf RUU Cilaka (PDF, hlm. 568). Pasal 151 ayat (1) diubah menjadi sekadar: "Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Peran serikat dinihilkan. Ini dibuktikan dengan pasal selanjutnya yang menyebut jika tak menemui kata sepakat, maka kedua belah pihak dapat langsung menyelesaikan masalah ini di PHI.
Kendati draf RUU Cilaka masih mengatur soal beberapa kompensasi yang harus dibayar perusahaan kepada buruh yang terkena PHK, tapi jika dibanding UU Ketenagakerjaan, maka jumlahnya lebih sedikit, bahkan ada yang dihapus sama sekali.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pengubahan dan penghapusan pasal-pasal terkait PHK di atas akan mengakibatkan buruh lebih gampang dipecat.
Pengusaha, misalnya, tak perlu bersitegang dengan serikat. Pemerintah juga tak perlu lagi bersusah payah "mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja." RUU Cilaka juga mempermudah pengusaha mem-PHK pekerja karena ia memperluas jenis-jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa perundingan.
"Jika dalam UU 13/2003 jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin hanya mencakup 4 jenis, dalam RUU Cipta Kerja terdiri dari 8 jenis. Celakanya, PHK tanpa izin bisa dilakukan karena perusahaan melakukan efisiensi," kata Iqbal lewat rilis resmi yang diterima reporter Tirto, Senin (17/2/2020) pagi.
Melegitimasi Praktik PHK
Syarif Arifin dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane mengatakan dalam Omnibus Law RUU Cilka praktik PHK yang selama ini dilakukan secara ilegal oleh para pengusaha akan mendapatkan legalitas bila RUU ini disahkan.
"RUU Cilaka ini melegitimasi praktik yang buruk. Sekarang praktik UU nomor 13 tahun 2003 sangat buruk kemudian dilegitimasi dengan RUU Cilaka ini. Kalau RUU ini goal bisa mempercepat dan memperbanyak kejadian PHK," kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (18/2/2020).
Dalam UU Nomor 13 tahun 2003 sebelumnya tidak melegitimasi PHK tanpa prosedur yang baik. Nantinya di RUU Cilaka akan melegitimasi PHK secara sewenang-wenang yang menurutnya sudah dilakukan sejak lima tahun terakhir.
"Dalam lima tahun terakhir banyak buruh di-PHK dengan alasan pengunduran diri atau istilahnya pengunduran diri paksa, atau dalam istilah formalnya buruh diminta mengundurkan diri," kata dia.
Kasus seperti itu, kata dia, banyak sekali di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sementara kasus lainnya adalah orang di-PHK dengan cara pemutusan kontrak kerja.
"Dengan RUU Cilaka maka akan semakin banyak mendorong PHK," kata dia.