DEMOKRASI.CO.ID - Sejumlah pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan era Presiden Joko Widodo sampai saat ini diketahui masih rangkap jabatan. Beberapa di antaranya menjabat di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kebanyakan menjadi anggota dewan komisaris.
Masalah rangkap jabatan pejabat negara ini pernah disorot Ombudsman RI beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data dari Ombudsman dan diverifikasi CNNIndonesia.com, pada Mei 2017 lalu ditemukan ratusan abdi negara memiliki jabatan ganda di BUMN.
Tercatat, sedikitnya 125 pejabat juga menduduki posisi Komisaris BUMN. Para pejabat yang memiliki jabatan rangkap itu, berasal dari berbagai instansi. Mulai dari kementerian, Sekretariat Kabinet, TNI/Polri, kalangan akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri, hingga pejabat daerah.
Dua tahun lebih berlalu, praktik rangkap jabatan masih terjadi. Kali ini, CNNIndonesia.com menemukan sejumlah pejabat Istana Kepresidenan di periode kedua Jokowi yang memiliki jabatan ganda. Mereka rata-rata berada di kursi komisaris perusahaan plat merah.
Mereka yang memiliki jabatan ganda, antara lain Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama yang menduduki posisi Komisaris PT Jasa Raharja, Deputi Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara Lydia Silvanna Djaman sebagai Komisaris PT Semen Indonesia
Selanjutnya Deputi Bidang Administrasi Aparatur Cecep Sutiawan sebagai Komisaris PT Bhanda Ghara Reksa (Persero), Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Dadan Wildan sebagai Komisaris PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (Persero).
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono sebagai Komisaris Bank Tabungan Negara (BTN), Deputi Bidang Protokol Pers dan Media Sektretariat Presiden Bey Triadi Machmudin sebagai Komisaris PT Pertamina Patra Niaga.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjorel Rachman sebagai Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero), Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana sebagai Komisaris PT Perkebunan Nusantara V, Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit sebagai Komisaris PT Pupuk Kalimantan Timur.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Hukum Alexander Lay yang menjadi Komisaris PT Pertamina (Persero), Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi Politik dan Kelembagaan Nicolaus Teguh Budi Harjanto sebagai Komisaris Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Staf Ahli Bidang Ekonomi, Maritim, Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Winata Supriatna sebagai Komisaris PT Pelindo I.
Kemudian Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Wakil Presiden Guntur Iman Nefianto sebagai Komisaris PT Pos, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Bambang Widianto sebagai Komisaris Bank Mandiri Syariah,
Kepala Biro Protokol, Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Wakil Presiden Sapto Harjono Wahjoe Sedjati sebagai Komisaris PT Asuransi BRI Life, hingga Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin sebagai Komisaris PT Angkasa Pura I.
Nama terakhir, Ngabalin 'berlindung' dari peraturan maupun perundang-undangan yang ada. Bahwa pejabat yang punya jabatan ganda tak menyalahi aturan.
"Regulasinya, lihat regulasinya saja. Dilihat regulasinya. Tinggal dilihat regulasinya," kata Ngabalin awal Januari 2020.
Ngabalin tak spesifik peraturan mana yang ia maksud. Hanya saja berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, melarang rangkap jabatan bagi pejabat struktural dan pejabat fungsional pemerintah.
Pasal 17 UU itu menyebut, "pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah."
Pelaksana pelayanan publik, terdiri dari pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Ngabalin mengaku bisa membagi tugasnya sebagai tenaga ahli KSP dan Komisaris di AP I. Lagi pula, kata politikus Golkar itu, komisaris tak full time seperti jajaran direksi.
"(Komisaris) bukan eksekutif, bukan pelaksana. Jadi kalau kami tugasnya bisa sebulan dua kali, sebulan sekali. Jadi normal saja," tuturnya.
Gaji Dobel
Pejabat yang memiliki jabatan ganda sudah barang tentu menerima gaji dari negara dua kali. Pertama gaji di instansi asal, dan kedua gaji di perusahaan plat merah tempat mereka merangkap.
Para abdi Istana yang menjadi komisaris BUMN itu sebagian besar adalah ASN atau setingkat ASN golong IV/e, IV/d, IV/c, hingga IV/a.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, ASN golongan IV/e sampai IV/a mendapat gaji berbeda setiap bulannya.
Untuk golongan IV/a mereka mendapat gaji mulai dari Rp3,04 juta hingga Rp5 juta per orang. Golongan IV/b dari Rp3,17 juta hingga Rp5,21 juta per orang, dan golongan IV/c Rp3,3 juta hingga Rp5,43 juta per orang.
Sedangkan golongan IV/d mulai dari Rp3,44 juta hingga Rp5,66 juta per orang, serta golongan IV/e dari Rp3,5 juta hingga Rp5,9 juta per orang.
Itu baru gaji pokok per bulan. Di luar itu ada tunjangan kinerja dan fasilitas jabatan di instansi masing-masing.
Sementara gaji komisaris BUMN bisa mencapai puluhan juta rupiah. Masing-masing perusahaan plat merah memiliki ketentuan berbeda dalam menggaji pejabat komisaris.
Ngabalin mengakui dirinya yang memiliki dua jabatan mendapat gaji dobel, dari KSP dan AP I. Namun, ia enggan menyebut berapa gaji sebagai komisaris. Ngabalin beralasan tak pernah bertanya kepada sang istri berapa duit yang masuk dari AP I ke rekeningnya.
"Kalau sampai sekarang itu, kita (saya) tidak pernah terima cash itu uang, saya juga tidak pernah konfirmasi sama istri," katanya.
Tak Beretika
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan pemerintah harus mengatur masalah rangkap jabatan pejabat karena bertentangan dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Ia menyatakan Ombudsman sudah pernah menyampaikan langkah awal yang perlu diambil pemerintah dalam masalah rangkap jabatan ini.
Pertama, melakukan seleksi personil dengan objektif, terbuka, dan transparan dalam penempatan di BUMN. Kedua, Menteri PAN-RB segera mengevaluasi peraturan terkait penghasilan agar ditetapkan ketentuan 'single sallary system.'
"Kalau Presiden punya kemauan saya kira cukup dua minggu untuk membuat Perpres," ujar Alamsyah beberapa waktu lalu.
Ia menyatakan tak perlu alasan akademik untuk berkelit dalam membuat aturan tentang rangkap jabatan. Menurutnya, ketaatan pada etika adalah salah satu parameter kecerdasan bernegara.
Ombudsman, kata Alamsyah, akan kembali mendalami pejabat rangkap jabatan pada tahun ini. Meskipun ia pesimis pemerintah akan mengubah aturan agar pejabat negara tak rangkap jabatan.
"Saya pesimis pemerintah punya concern untuk itu, mengingat BUMN sering dijadikan kompensasi politik untuk para pendukung," katanya. [cnn]