DEMOKRASI.CO.ID - Protes yang dilayangkan oleh pemerintah Indonesia terhadap masuknya kapal coast guard dan kapal-kapal nelayan China ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna Utara tidak ditanggapi dengan serius oleh negeri tirai bambu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai hal tersebut dikarenakan China memang tidak menganggap adanya ZEE Indonesia di Natuna Utara.
Buktinya, jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan coast guard atau kapal penjaga pantai China justru sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan iklan nelayan China (traditional fishing right).
Pernyataan Geng tersebut dikeluarkan dalam konferensi pers pada Selasa (31/12). Lebih lanjut, Geng menyampaikan bahwa China akan menyelesaikan perselisihan Natuna Utara secara bilateral.
Menanggapi rencana tersebut, Hikmahanto dengan tegas menyarankan pemerintah untuk menolak proposal tersebut. Bukan tanpa sebab, justru Indonesia punya beberapa alasan untuk tidak bernegosiasi dengan China dalam kasus ini.
Pertama, jika China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, seharusnya Indonesia melakukan hal yang sama untuk tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China. Dengan begitu, Indonesia tidak diharuskan bernegosiasi mengenai hal tersebut.
"Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia?" kata Hikmahanto.
Selanjutnya, Indonesia sendiri telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaikan sengketa antara Filipina dan China.
Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas nine-dash-line maupun konsep traditional fishing right. Sehingga, klaim China tidak akan diakui dalam negosiasi mengingat Indonesia dan China itu sendiri adalah anggota UNCLOS.
"Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara," katanya menambahkan.
Hikmahanto menjelaskan juga, Indonesia memang tidak akan mungkin bernegosiasi dengan China karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan nine-dash-line maupun traditional fishing right yang diklaim oleh China.
Terakhir, jangan sampai pemerintah Indonesia menciderai politik luar negeri yang bebas aktif yang selama ini dijunjung tinggi, katanya.
"Ketergantungan Indonesia atas utang China tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pemerintah China," tegasnya.
"Justru bila perlu Presiden mengulang kembali bentuk ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di Kapal Perang Indonesia di Natuna Utara," pungkas Hikmahanto.(rmol)