logo
×

Senin, 06 Januari 2020

Natuna, Pemerintah Indonesia Didesak Tarik Dubes dari Beijing

Natuna, Pemerintah Indonesia Didesak Tarik Dubes dari Beijing

DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah Indonesia didesak menarik duta besarnya dari Beijing dan meninjau ulang seluruh proyek kerja sama dengan China menyusul sikap negara itu yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Pakar kebijakan luar negeri dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, menilai langkah pemerintah yang selama ini sebatas melayangkan nota protes tidak mempan sebab persoalan tersebut terus berulang.

"Kita sudah mengambil langkah yang sama dan berharap hasil yang berbeda. Kalau hari ini Dubes China mau mendengar kita dan bisa membujuk Beijing menarik semua coast guard-nya, tapi apakah ada jaminan bulan depan mereka tidak akan kembali?" ujar Evan Laksmana kepada BBC, Minggu (05/01).

Menurut Evan, selain meninjau ulang kerja sama dengan China, pemerintah Indonesia juga bisa memanggil pulang duta besar dari Beijing hingga China menarik seluruh kapal patrolinya dari perairan Natuna utara.

Dengan begitu, katanya, Indonesia punya posisi tawar yang bagus.

Kendati demikian, Evan mengatakan ada risiko yang mungkin saja terjadi dalam hubungan ekonomi kedua negara. Meskipun ia meyakini, China akan melunak sebab tak ingin kehilangan salah satu sumber pasarnya di wilayah Asia.

"Kalaupun ada risiko dan China tetap berkeras, saya merasa situasi sekarang enggak terlalu solid. Jadi China tidak mau berisiko merusak hubungan dengan Indonesia di saat situasi domestik mereka sedang tidak bagus," jelasnya.

"Tapi kalau kita berani ambil sedikit risiko itu, saya rasa China akan lebih rela mundur dibanding merusak hubungan dengan Indonesia dan Asia Tenggara," sambung Evan.

"Jadi ini semua tergantung niat pemerintah Jokowi untuk ambil risiko dan ini yang kita belum lihat selama ini."

Menjawab usulan penarikan duta besar Indonesia dari China, pelaksana tugas juru bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, mengatakan hal itu akan menjadi opsi terakhir.

"Pengelolaan hubungan antarnegara dilakukan secara terukur. Dalam mengelola hubungan tersebut, termasuk pada saat muncul satu permasalahan, ditempuh berbagai pilihan kebijakan dan penarikan dubes lazimnya merupakan opsi terakhir," katanya lewat pesan singkat kepada BBC News Indonesia.

Percepat penyelesaian Code of Conduct

Sementara itu pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, menilai persoalan dengan China bisa diakhiri dengan mempercepat penyelesaian rancangan Code of Conduct yang disusun negara-negara ASEAN.

"Code of Conduct itu berisi pengaturan bersama bagaimana berperilaku di kawasan yang ada pulau-pulau yang disengketakan. Seandainya China setuju, mungkin akan mencegah suatu tindakan sepihak yang merugikan kepentingan negara lain," ujar Aleksius Jemadu kepada BBC News Indonesia.

"Itu salah satu harapan yang bisa kita pegang," sambungnya.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus membenahi komunikasi internalnya agar tidak dianggap ambigu. Sebab, kata dia, pernyataan Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, memberi kesan Indonesia tidak tegas.

"Para pemimpin ini harus bertemu bagaimana menyikapi ini dan mempertimbangkan pilihan yang ada. Presiden Jokowi harus secepatnya mengambil inisiatif berbicara dengan Xi Jinping. Buka peluang itu untuk meniadakan konflik," tukasnya.

Konflik tak berujung di perairan Natuna

Insiden antara Indonesia dengan China di Natuna utara tak berkesudahan. Pada 2016, konflik terjadi setelah awak kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna.

Namun saat kapal patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.

Pasca kejadian itu, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes. Sekretaris kabinet kala itu, Pramono Anung, menyebut insiden di perairan Natuna sudah selesai setelah bertemu dengan delegasi China.

"Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman," ujar Pramono Anung seperti dilansir Kompas.com , (13/04/2016).

Kemudian pada 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman membuat peta baru yang mengganti nama di kawasan perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara.

Pemerintah berdalih pergantian nama diperlukan untuk mengurai ketidakjelasan batas wilayah dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Hanya saja China keberatan karena dianggap berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di wilayah itu.

Terakhir pada (19/12/2019), sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna. Tak cuma itu, kapal penjaga China juga melanggar kedaulatan di sana.

China tak akui putusan arbit r ase Laut China Selatan

Pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, berkeras China memiliki hak atas perairan yang berbatasan dengan Kepulauan Nansha yakni di Natuna utara.

Bahkan lewat situs resminya pada Jumat (31/12/2019), Geng Shuang, mengatakan keputusan Mahkamah Arbritase PBB yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di sana adalah ilegal dan tidak berlaku.

"China dengan tegas menentang negara, organisasi atau individu manapun yang menggunakan putusan arbritase yang tidak sah itu," jawab Geng Shuang.

Sebelumnya pada Jumat (31/12) Geng Shuang, juga mengklaim China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yuridiksi atas perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha.

Ia juga berkata, nelayan China telah lama menangkap ikan di perairan di dekat kepulauan tersebut.

Adapun Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan tidak akan pernah mengakui klaim China atas nine dash line s (sembilan garis putus-putus) di perairan Natuna. Retno menyebut, batas wilayah itu tanpa dasar hukum.

"Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line , klaim sepihak yang dilakukan oleh China yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujar Retno usai rapat tertutup di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (03/01).

Retno menyebut China merupakan salah satu bagian dari UNCLOS (United Nations Convetion on the Law of the Sea) 1982. Oleh karena itu, ia meminta China wajib menghormati implementasi dari UNCLOS 1982. [vn]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: