logo
×

Sabtu, 04 Januari 2020

Indonesia Tanpa China, Kenapa Tidak?

Indonesia Tanpa China, Kenapa Tidak?

INILAH pameo lama yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan. Ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk. Begitu pula halnya dengan pameo yang dianggap sebagian orang seperti hadist.

Seperti halnya sejarah Indonesia pernah putus diplomatik dengan China di zaman Orde Baru, apakah itu memungkinkan ? Itulah pertanyaan mendasar kita sekarang ini.

Pertanyaan itu muncul ketika kapal China masuk ke perairan Natuna, di mana ZEEI batas internasional berada di wilayah Indonesia. Sementara Kementerian Luar Negeri, kembali menegaskan penolakannya atas klaim historis China di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) yang terletak dekat perairan Kepulauan Natuna, Provinsi Riau.

Penolakan ini disampaikan sehari setelah Kementerian Luar Negeri China mengaku memiliki kedaulatan atas wilayah perairan di dekat kepulauan Nansha atau kepulauan Spratly yang berbatasan langsung dengan laut Natuna. Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan klaim China tidak berdasar.

Sejarah ZEEI atau UNCLOS

Klaim historis China atas ZEE dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.

Di mana UNCLOS merujuk kepada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 yang mengatur tiga batas maritim; laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dan ZEE sendiri dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar. Sedangkan di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat UNCLOS, juga disebut Konvensi Hukum Laut Internasional  atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari 1973 sampai 1982.

Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.

Konvensi disimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. Untuk saat ini telah ada 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam konvensi.

Artinya dalam perumusan konvensi ini, Sekretaris Jenderal PBB menerima instrumen ratifikasi dan aksesi, dan menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara peserta konvensi. PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan konvensi. Peran PBB hanyalah melalui organisasi-organisasi dunia yang menangani masalah-masalah maritim dan kelautan seperti Organisasi Maritim Internasional.

Sebagai tindak lanjut atas ratifikasi UNCLOS tersebut, kini Indonesia sejak 2014 telah memiliki payung hukum yang menekankan kewilayahan laut Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang disahkan pada 17 Oktober 2014, dan dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.

Klaim Sepihak

Sementara China melakukan klaim sepihak lewat Jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang yang mengatakan China tidak melanggar hukum internasional dan memiliki hak dan kepentingan di wilayah perairan yang disengketakan.

Di sisi lain China ingin menekankan bahwa posisi dan proposisi China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan (relevant waters).

China boleh saja mengatakan klaim sepihaknya, padahal ketika Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan tidak ada langkah provokasi dari China. Pertanyaannya ada apa di balik ini semua?

 Dalam hal ini saya sepakat dengan pernyataan anggota DPR Komisi I Meutya Hafid yang dengan tegas mengatakan perairan Natuna yang menjadi milik Indonesia tak bisa lagi diganggu gugat. Karena itu, menurut Meutya, tak perlu ada perundingan akan hal itu dengan pemerintah China.

Putus Diplomatik, Kenapa Tidak?
Kalau kita melihat ke belakang hubungan Indonesia-China, menurut sejarah yang mengacu pada hubungan luar negeri antara kedua negara telah dimulai sejak berabad-abad lalu, dan secara resmi diakui pada 1950. Namun hubungan diplomatik dihentikan pada 1967, dan dilanjutkan kembali pada 1990.

 Ketika sudah 23 tahun hubungan diplomatik dibuka kembali, sepertinya China melakukan sebuah langkah yang sangat politis. Walaupun pendekatannya investasi. Sedangkan sekarang China sepertinya sudah merasa lebih percaya diri, apalagi di era pemerintahan Jokowi ini.

Segala investasi dan pembangunan infrastruktur menjadi andalan Jokowi dengan investasi China yang besar-besaran. Para pejabat Indonesia sering bepergian ke negara tirai bambu. Bahkan ada pejabat juga yang menyederhanakan persoalan. Seolah-olah urusan pertahanan adalah remeh temeh. Kita jadi bertanya kepada diri kita, maksud mengalah untuk apa?

Saya lebih tertarik dengan politik luar negeri China yang memberikan bantuan dan utang kepada Indonesia agar nantinya negara ini menjadi lemah dan gagal bayar utang. Lama kelamaan Indonesia punya ketergantungan dengan China. Sementara Cina akan leluasa memainkan perannya sebagai negara yang menguasai  negara karena gagal bayar utang. Banyak contoh, seperti Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka, dan Pakistan.

Untuk hal di atas Institute For Development of Economics and Finance atau Indef mengingatkan pemerintah agar mampu mengelola utang dengan baik. Pasalnya, sejumlah negara gagal membayar utang karena strategi pembangunan infrastrukturnya yang masif. Atau Indonesia harus belajar dari kesalahan Malaysia, di mana mantan Perdana Menterinya ditahan karena korupsi dan dengan cara investasi. Untuk itu, marilah kita berpikir terhadap pentingnya Indonesia tanpa China.

Dari kenyataan itu, kita harus kembali dalam konteks pameo di atas dan Profesor Ali Mustafa Yaqub --mantan Imam Besar masdjid Istiqlal menegakan, bahwa ungkapan “tuntulah ilmu sampai ke negeri China” tidak boleh lagi disebut sebagai hadit, meskipun kalangan masyarakat awam menganggapnya seperti hadis. Paling bagus, ungkapan itu hanyalah sebuah kata-kata mutiara.

Boleh jadi, karena begitu cepatnya kata mutiara ini menyebar, lama-kelamaan hal ini dianggap hadist. Kita tetap harus selalu kritis, bahwa peran China di Indonesia harus selalu kita curigai dan tidak langsung menjadikan China segala-galanya buat republik ini. Karena tipu daya investasi pasti lebih berbahaya dari pada perang militer itu sendiri.

Himawan Sutanto
Aktivis 1980-an
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: