DEMOKRASI.CO.ID - Ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran belakangan ini ternyata sudah diramalkan oleh mantan pesaing Presiden Donald Trump, Hillary Clinton.
Usai aksi saling serang antara AS dan Iran di Irak, muncul sebuah video pidato kampanye Hillary Clinton di San Diego, California, pada 2 Juni 2016 lalu.
Dalam video tersebut, Hillary seakan-akan sudah tahu apa yang terjadi jika Trump menjadi Presiden AS, khususnya kebijakan Trump terhadap Iran.
"Seperti banyak orang di negara kita dan seluruh dunia, saya percaya bahwa orang yang dicalonkan oleh Partai Republik (Trump) tidak dapat melakukan pekerjaannya (sebagai Presiden)," ucap Hillary yang disambut dengan tepuk tangan penonton.
"Tidak sulit membayangkan Donald Trump membawa kita ke dalam perang," lanjutnya, seraya mengatakan Trump tidak layak secara emosional memegang jabatan Presiden yang membutuhkan pengetahuan, stabilitas, dan tanggung jawab yang besar.
Trump bukan orang yang bisa berdiplomasi. Tapi diplomasi seringkali satu-satunya cara untuk menghindari konflik yang dapat menelan biaya yang lebih besar, kata politikus Partai Demokrat tersebut.
Ketika Iran mengembangkan bom nuklir, lanjut Hillary, Presiden Barack Obama memilih jalur dengan memulai dialog. Dan akhirnya, AS berhasil mencapai kesepakatan yang memungkinkan memblokir jalan bagi Iran untuk mendapatkan senjata nuklir.
"(Tapi) Donald Trump mengatakan seharusnya kita tidak melakukan kesepakatan... Jadi apa? Perang?" tanya tegas Hillary yang dibalas dengan "Tidak!" dari penonton.
Jika tidak melakukan kesepakatan dan menciptakan lebih banyak sanksi, justru Iran akan terus mengembangkan program nuklirnya dan dunia akan menyalahkan AS, kata mantan Menteri Luar Negeri AS ini.
"Donald Trump tidak tahu apa-apa tentang Iran atau program nuklirnya. Tanyakan dia," tegas Hillary.
"Sekarang bayangkan Donald Trump duduk di Situation Room, membuat keputusan hidup atau mati atas nama AS," ujar Hillary yang dijawab "Tidak!" oleh penonton.
"Bayangkan dia (Trump) memutuskan apakah akan mengirim suami atau anak-anak Anda ke medan pertempuran," ujar Hillary yang kembali dijawab "Tidak!" oleh penonton.
"Bayangkan jika dia tidak hanya memiliki akun Twitter saat marah, tetapi seluruh Amerika... Apakah kita ingin jarinya berada di dekat tombol?" tanya Hillary merujuk tombol pada keputusan di tangan Presiden.
Dan kurang dari empat tahun kemudian, perkataan Hillary tampaknya mulai terbukti. Trump mulai menyulut api dengan membunuh Komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran, Letjen Qassem Soleimani di Bandara Baghdad, Irak pada Jumat (3/1).
Tak ayal, Iran kemudian melakukan serangan balasan dengan meluncurkan 22 rudal ke dua pangkalan militer AS di al Asad dan Erbil, Irak pada Rabu (8/1).
Tensi pun semakin tinggi. Apalagi AS telah memberlakukan sanksi yang lebih berat kepada Iran, yang dibalas dengan pengayaan uranium Iran yang semakin besar. Hanya tinggal masalah waktu ketegangan ini bisa menjadi "perang", seperti yang pernah dikatakan Hillary.
Seperti dalam akhir pidatonya, Hillary mengatakan, "Menjadikan Donald Trump sebagai Panglima kita akan menjadi kesalahan dalam sejarah."[rmol]