DEMOKRASI.CO.ID - Konflik perairan Natuna Utara yang diletupkan rezim komunis China kepada pemerintahan Indonesia masih terus terjadi hingga hari ini.
China terus ngotot atas hak perairan itu, karena beralibi atas sembilan garis putus-putus (nine dashed-lines) di Perairan Natuna Utara tersebut.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) berpandangan, klaim ngotot Pemerintahan Komunis China tidak bisa dilihat dari perspektif kedaulatan saja.
Lebih jauh, secara geopolitik posisi Laut Natuna Utara sangat strategis karena menjadi “jembatan penghubung” China ke India dan Timur Tengah.
Hal itu terbukti dengan adanya reklamasi pulau yang dilakukan China di Kepulauan Spartly dan Paracel, dekat Perairan Natuna.
Sementara, jika dilihat dari aspek kedaulatan energi, Laut Natuna Utara terkandung cadangan gas alam dan pangan yang besar, yang disinyalir bakal dikeruk habis oleh rezim Komunis China.
Untuk itu, Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi meminta pemerintah kompak melawan klaim China tersebut.
"Seluruh lembaga, kementerian dan instansi harus satu suara dan berkolaborasi dalam menyikapi klaim sepihak Tiongkok ini," kata Imanuel dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (4/1).
Selain itu, pernyataan dan protes diplomatik yang disampaikan pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri, belumlah cukup mempertegas kepemilikan Perairan Natuna Utara.
Justru, seluruh pemerintah harus berkolaborasi melakukan langkah taktis untuk pencegahan klaim China.
Misalnya saja, disebutkan Imanuel, Kementerian Pertahanan harus mengarahkan TNI untuk melakukan gelar kekuatan dan melakukan latihan militer intensif bersama dengan negara-negara lain di Laut Natuna Utara.
Kemudian Kementerian Perhubungan, juga harus meningkatkan jumlah Kapal Penjaga Pantai yang berpatroli di Laut Natuna Utara.
Selain itu, kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan juga dapat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, bisa dilakukan.
Dengan tujuan, untuk melakukan mobilisasi penduduk, terutama masyarakat nelayan, bertransmigrasi ke pulau-pulau di sekitar Laut Natuna Utara.
"Tentunya dengan menyiapkan sarana dan prasarana bagi para transmigran tersebut serta membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya, pelabuhan dan perumahan disana," imbuh Imanuel.
Sebagai informasi, Hasil konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum laut internasional atau UNCLOS 1982 telah menyatakan hak eksplorasi Perairan Natuna sebagai milik Indonesia.
Ditambah, keputusan Mahkamah Internasional yang termuat dalam PCA Case No. 2013-19 Tahun 2016, jelas-jelas menolak klaim China atas Perairan Natuna Utara.
"Semua itu sama sekali tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah Tiongkok, apalagi sampai mengklaim Laut Natuna Utara sebagai wilayah teritorial mereka," pungkas Imanuel. [rml]