DEMOKRASI.CO.ID - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintahan komunis China berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh konvensi hukum laut PBB.
Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994, karena itu tindakan Coast Guard China mengawal kapal nelayan berbendera China di Perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
Pihaknya juga mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak lembek terhadap pemerintah China yang telah merebut kedaulatan NKRI.
“Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi,” kata Said Aqil saat jumpa pers di kantornya, Jalan Kramat RayaSenin (6/1).
Menurutnya, keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun.
“Dalam jangka panjang, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI untuk mengarustamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik,” paparnya.
Kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.
Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers.
PBNU menjelaskan, pemerintah China secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok.
"Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia," demikian keterangan Said Aqil.
Sebelumnya, Filipina telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut Selatan China sebagai tidak memilikidasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Beijing menolak keputusan tersebut.
“Karena itu, Nahdlatul Ulama mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI sebagai manifestasi dari ’Archipelagic State Principle’ yang dimandatakan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957,” pungkas Said Aqil.(rmol)