DEMOKRASI.CO.ID - Klaim China atas perairan Natuna, Kepulauan Riau, memicu repon keras dari Pemerintah Indonesia.
China menyatakan, Natuna merupakan bagian dari kedaulatan mereka.
Atas dasar itu pula, China merasa bebas mengambil kekayaan laut Natuna. Bahkan, pukuhan kapal nelayan mendapat pengawalan kapal perang China.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya (Laksdya) Achmad Taufiqoerrochman menegaskan, pihaknya siap menjaga secara intens wilayah perairan Natuna.
“TNI pun pasti mengerahkan kekuatan juga. Tapi dalam kondisi memang Bakamla di depan,” ucap Taufik di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).
Taufik mengatakan, Bakamla siap pasang badan untuk mengusir kapal-kapal China yang akan kembali masuk ke Perairan Natuna.
“Kan sudah saya usir (yang 30 kapal dan 3 coast guard), balik lagi, terus kita usir lagi. Nah itu kita pantau terus beberapa hari ini,” sambungnya.
Penambahan pasukan, diakui Taufik, juga sudah dilakukan. Namun, ia enggan menyebutkan jumlah pasukan Bakamla yang diturunkan di operasi ini.
Kendati demikian, ia memastikan bahwa pihaknya akan bekerjasama dengan TNI untuk menghadang kapal-kapal China yang masuk.
Adapun metode yang digunakan ialah dengan sistem penjagaan dan pengawasan teritori laut atau biasa disebut white hull, ketimbang sistem penindakan oleh militer angkatan laut atau grey hull.
“Orang sekarang lebuh senang menggunakan white hull, daripada grey hull. Karena kalau kapal perang kan tensinya agak berbeda. Jadi Bakamla tetap di depan,” tambah Taufik.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mhafud MD menggelar rapat koodinasi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Selain itu, juga Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Kepada wartawan, Mahfud menegaskan bahwa perairan Natuna adalah milik Indonesia.
Dalam rapat tertutup tersebut, Mahfud menyampaikan ada empat poin pernyataan sikap pemerintah terhadap klaim China atas Natuna.
Empat pernyataan sikap itu dibacakan Menlu Retno Marsudi di hadapan wartawan.
“Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok (China) di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Elsklusif) Indonesia,” ujar Retno.
Kedua, Retno menegaskan bahwa wilayah Natuna telah diakui berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau disebut UNCLOS 1982.
Ketiga, bahwa China yang merupakan salah satu negara yang menyepakati UNCLOS 1982, memiliki kewajiban menghormati kepemilikan Natuna atas Indonesia.
Terakhir, Indonesia tidak akan mengakui klaim China yang mengaku memiliki sembilan garis putus-putus (nine dash line) di perairan Natuna.
“Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak, yang dilakukan oleh Tiongkok, yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982,” pungkas Retno.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenlu China, Geng Shuang menyatakan, bahwa Laut Natuna termasuk ke dalam kedaulatan dan yurisdiksi China.
Alasannya, perairan Natuna dekat dengan Kepulauan Nansha di Laut Tiongkok Selatan.
Karena itu, Shuang menegaskan bahwa negaranya memiliki hak historis di perairan tersebut dan sah.
Demikian disampaikan Shuang dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri Repblik Rakyat Tiongkok.
“Penjaga pantai Tiongkok sedang melakukan tugas patroli rutin menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak kepentingan rakyat kami yang sah,” kata Shuang.
Tidak dijelaskan secara detail apakah perairan Laut Natuna Utara juga mereka klaim.
Dalam situs itu, Shuang hanya menuturkan bahwa duta besar Tiongkok untuk Indonesia ingin menjaga hubungan kerja sama kedua negara.
“Bekerja sama mengelola perselisihan dengan baik melalui dialog bilateral. Untuk menjaga persahabatan, perdamaian, dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan,” katanya. [psid]