DEMOKRASI.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dulu saat dirinya menjabat 15 tahun lalu, banyak anak buahnya yang merangkap sebagai makelar.
Gurita makelar itu disebutnya tersebar nyaris diseluruh jajaran Kementerian Keuangan sehingga sangat sulit bagi pemerintah waktu itu untuk menuntaskan masalah tersebut.
"Kalau kita lihat perjalanan kita di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kebetulan Menkeu nya waktu itu saya, 15 tahun lalu, penuh dengan para lobbyist atau makelar. Dan itu tidak hanya terjadi di Bea Cukai, Pajak, Perbendaharaan tapi nyaris semua birokrasi di Kemenkeu," ujar Sri Mulyani dalam Peringatan Hari AntiKorupsi Sedunia (Hakordia) di Gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Selasa (3/12).
Lantas apa yang membuat perilaku korup tersebut tersebar secara sistemik di jamannya?
Gaji Minim
Menurut Sri Mulyani, akar penyebab perilaku korup yang sistemik itu terjadi di Kementeriannya sebab gaji yang diterima birokrasi tersebut terbilang minim.
"Penyebab utamanya adalah birokrasi waktu itu dibayar dengan gajinya yang dalam seminggu saja sudah habis. Sehingga, kalau tidak korupsi, ya tidak bisa hidup, itu berarti fundamentally sistemnya memang mengharuskan orang untuk korupsi yaitu menerima sumber berasal dari lainnya," tuturnya.
Sebagaimana yang dirangkum detikcom, besaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) sekitar 15 tahun lalu berada di kisaran Rp575.000- Rp2.070.000 dengan rincian berikut:
Tahun 2003 (PP 11-2003): Rp 575.000-Rp 1.800.000
Tahun 2005 (PP 66-2005): Rp 661.300-Rp 2.070.000
Koordinasi dengan KPK
Memutus tabiat tersebut, Kemenkeu bersama Komisi Pemberatan Korupsi (KPK) saat itu sepakat untuk memulai upaya pencegahan lewat Reformasi Birokrasi.
"Karena waktu itu korupsi itu sudah masuk di dalam suatu sistem, yang di Kementerian Keuangan itu kita semuanya seolah berjamaah melakukan korupsi, kita (Kemenkeu dan KPK) berpikir keras bagaimana mulainya, hingga tercetus yang namanya Reformasi Birokrasi," katanya.
Terobosan itu dinilai Sri Mulyani cukup membuahkan hasil. Salah satunya dari lingkup Aparat Sipil Negara (ASN) DJP.
"Dengan ketekunan bersama, hari-hari seperti itu sudah hilang, bahkan tadi malam, saya dapat kabar ada Kepala Kanwil Pajak di Tanjung Priok menjadi ASN pertama teladan di seluruh Indonesia," pungkasnya
Tak Puas Hanya Pecat Anak Buah Korup
Melewati 15 tahun bersama reformasi birokrasi tersebut, Sri Mulyani mengaku tak rela jika masih ada anak buahnya yang berperilaku korup sekadar dihukum pecat tanpa diberi hukuman pemberat lainnya.
"Bisa tidak, lebih keras dari dipecat karena tindakannya itu jelas menyakitkan hati kita semua," imbuhnya.
Bahkan Sri Mulyani menyayangkan lambatnya tindak pemecatan terhadap anak buahnya yang korup.
"Kita juga terhalang oleh PP (Peraturan Pemerintah) No. 53, yang membuat kita tak bisa langsung memecat. Untuk itu, saya biasanya langsung memerintah langsung aja pecat, saat itu juga, meski ada PP nya, kita upayakan cari cara lain aja," katanya.
Sebagaimana diketahui, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini mengatur sanksi atas perilaku korup ASN dan dimasukkan dalam kategori hukuman berat.
Akan tetapi kategori hukuman berat yang tertuang dalam beleid ini pun tak secara tegas langsung memecat PNS yang ketahuan korup.
Berikut sanksi hukuman berat yang dituang dalam kebijakan tersebut:
a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. Pembebasan dari jabatan;
d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
"Hanya karena ada satu atau dua petugas yang korup, malah membuat kita dipersepsikan identik begitu, padahal yang lain kerjanya bener, itu jelas pengkhianatan, makanya saya kesel banget soal itu," ucapnya.[dtk]