DEMOKRASI.CO.ID - Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, ikut memberikan komentar terkait polemik perjanjian pemberian kredit murah antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Adapun pemberian kredit murah yang dijanjikan itu sebesar Rp1,5 triliun yang dari 2017 hingga saat ini belum juga disalurkan secara utuh.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, beberapa hari lalu menagih janji itu kepada Sri Mulyani secara terang-terangan. Ficar pun menilai tindakan Said Aqil itu sangat berlebihan. “Jadi berlebihan jika menagih kredit secara terbuka, seperti menagih janji politik saja,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/12).
Menurut Ficar, kredit itu tidak perlu ditagih, tetapi diajukan sesuai dengan permohonan melalui bank atau lembaga keuangan lain. Dia mengatakan, seharusnya Said Aqil tidak meminta secara menyeluruh, tetapi harus didasarkan kepada kebutuhan riel pemohon kredit.
“Jadi prosesnya melalui bank atau lembaga keuangan yang ditunjuk,” tuturnya.
Dia mengingatkan, penagihan janji secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Said Aqil, harus didasarkan pada hukum keuangan negara dan hukum perbankan yang berlaku. Selain itu, Ficar juga mengingatkan, Kemenkeu harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada DPR untuk pencairan dana kredit murah tersebut.
“Jadi negara tidak bisa mengeluarkan dana tanpa perencanaan lebih dulu. Begitupun permintaan yg dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial. Tidak bisa seenaknya tanpa aturan,” kata dia.
Ficar mengungkapkan, dalam tata negara, segala pengeluaran negara yang di dalamnya juga termasuk sumbangan ke organisasi sosial keagamaan harus melalui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) di setiap tahun. “Jika seorang pejabat mencairkan dana negara tanpa pos perencanaan sebelumnya, salah-salah bisa dituduh korupsi,” ucapnya. (*)