DEMOKRASI.CO.ID - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka-bukaan penyebab Indonesia masih ketergantungan baja impor. Menurut Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto hal itu dikarenakan Indonesia masih lemah dalam memproduksi baja untuk mesin (engineering).
Selain itu dia mengungkapkan penyebab industri hilir, alias industri pengguna baja memilih baja impor ketimbang lokal. Itu disebabkan harga dan kualitas baja impor lebih unggul.
Namun derasnya aliran impor baja di dalam negeri dikhawatirkan bakal mengancam eksistensi industri baja nasional. Perusahaan baja RI disebut bisa mati gara-gara gempuran impor. Benarkah demikian?
Harjanto menjelaskan saat ini industri hulu masih fokus memproduksi baja untuk konstruksi ketimbang untuk mesin. Mau tidak mau baja untuk mesin harus impor.
"Nah ini kondisi pabrik kita di dalam negeri memang masih fokus di baja-baja konstruksi," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Dia mencontohkan, untuk membuat kulkas saja, Indonesia masih perlu impor komponen bajanya untuk membuat body kulkas. Hal itu karena industri baja di sektor hulu tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.
Dirinya menyadari bahwa impor baja menjadi polemik. Namun mau tidak mau itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna baja, termasuk industri otomotif.
"Kalau di mobil itu kan untuk transimisi itu kan ada bajanya juga. Untuk transimisi kita nggak bisa. Baja untuk suspensi kita nggak bisa juga. Jadi apa segala macam itu kita nggak bisa buat. Apa boleh buat kita terpaksa impor," jelasnya.
"Cetakan itu bahan bakunya semua impor. Kenapa kita kalah industri mold and dies kita dengan yang di China karena China bikin sendiri bahan bakunya. Pabrik kita di dalam negeri selalu dapat bahan baku dari impor," terangnya.
Katanya baja RI kalah kualitas dan harga?
Harjanto mengungkapkan industri hilir terpaksa impor baja demi menekan harga produk turunannya. Berkaitan dengan itu, harga baja impor dinilai kompetitif.
"Industri hilir sama hulu selalu berkelahi. Hilir bilang saya perlu baja. Baja yang antara impor dengan lokal. Saya perlu baja yang sesuai spek, saya perlu baja yang harganya kompetitif," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Bagi industri hilir, harga baja sangat penting karena mereka harus bersaing dengan produk turunan baja dari China. Produk-produk turunan baja dari negara tersebut kompetitif sehingga untuk bersaing harus bisa menekan harga.
"Sekarang kita ini sudah buka pasar dengan China. Jadi ada Asean-China FTA. Itu sebagian besar tarif kita sudah nol, bagaimana industri hilir bisa tumbuh kalau bahan bakunya mahal. Bukan teman-teman industri hilir nggak mau pakai barang industri hulu atau industri menengah," jelasnya.
"Cuma masalahnya bagaimana menurunkan harga di industri midstream dan upstream. Itu problem kita," sebutnya.
Untuk membuat produk yang lebih kompetitif, selain harga juga harus ada jaminan kualitas. Industri hilir memilih baja impor juga untuk menjaga mutu.
Bagaimana kalau impor disetop?
Harjanto menilai jika saat ini impor dibatasi, yang ada malah akan mengancam industri hilir. Pasalnya industri tersebut masih cukup bergantung baja impor karena harga dan kualitas lebih baik.
"Impor itu tidak selalu jelek. Impor kan konotasinya selalu negatif. Sekarang kalau kita tutup impor coba, apa yang terjadi? Saya balik tanya, produksi mati semua," kata dia ditemui di Menara Batavia, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Bahayanya ketika impor baja disetop, industri hilir tidak bisa berproduksi maka yang ada Indonesia akan dibanjiri produk hilir baja.
"Baja sendiri kan dipakai karena ada kebutuhan untuk industri dalam melakukan proses industrialisasi ya kan. Baja itu kan bahan baku, belum barang jadi. Tapi kalau kita tutup di situ, sekat di situ, berarti barang jadinya kan masuk. Yang masuk nanti bukan bajanya, bajanya sih turun. Barang jadinya yang membludak di dalam negeri," jelasnya.
Sejauh ini pihaknya pun mengaku tidak mendapatkan laporan adanya industri baja yang tutup karena masuknya baja impor. Namun impor ini memang membuat pemanfaatan tingkat produksi atau utilisasi produksi baja industri dalam negeri menjadi rendah.
"Saya belum ada laporan yang tutup, belum ada. Paling memang utilisasi rendah, iya. Utilisasi ada yang bilang di sekitar 50%. Nah itu yang jadi catatan," tambahnya.(dtk)