DEMOKRASI.CO.ID - Indonesia Corruption Watch (ICW) secara tegas menolak lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dilantik Presiden Jokowi pada Jumat, (22/12). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan ada lima alasan pihaknya menolak pimpinan lembaga antirasuah periode 2019-2023.
Pertama terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah satu pimpinan KPK. ICW menyebut, KPK telah menyampaikan kepada publik bahwa saat menjabat Deputi Penindakan Firli Bahuri bertemu dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi saat masih menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB). Padahal, diduga KPK tengah menyelidiki perkara yang tersangkut TGB tersebut.
“Salah satu pimpinan KPK diduga sempat bertemu dengan seorang kepala daerah yang sedang berperkara di lembaga antirasuah itu. Indonesia Corruption Watch pada 2018 lalu melaporkan salah seorang Pimpinan KPK tersebut ke KPK atas dugaan pelanggaran kode etik,” kata Kurnia dalam keterangannya, Minggu (22/12).
Alasan kedua penolakan ICW, terkait persetujuannya mengenai Undang-Undang KPK hasil revisi pada September lalu. Menurut Kurnia, saat uji kelayakan di DPR mayoritas pimpinan KPK terpilih sepakat untuk merevisi Undang-Undang KPK.
“Padahal di saat yang sama draft yang ditawarkan oleh DPR dan pemerintah tidak pernah sekalipun memperkuat KPK. Selain itu penolakan masyarakat juga sangat meluas perihal perubahan UU KPK tersebut,” sesal Kurnia.
Penyebab penolakan ketiga adalah ketidakpatuhan salah satu pimpinan KPK jilid V untuk melaporkan harta kekayaan (LHKPN). Padahal, kata Kurnia, kewajiban untuk melaporkan LHKPN sudah diatur secara tegas dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
“Padahal kewajiban melaporkan LHKPN sudah diatur secara tegas dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Peraturan KPK No 07 tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Tentu catatan ini akan berimplikasi buruk bagi citra KPK yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” tegas Kurnia.
Alasan keempat yakni, usia yang belum mumpuni untuk menjadi pimpinan KPK. Menurut dia, satu di antara lima Pimpinan KPK masih berusia 45 tahun. Hal ini dipastikan menjadi persoalan serius, sebab Pasal 29 huruf e UU KPK hasil revisi menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun.
Pimpinan yang dimaksud Kurnia adalah Nurul Ghufron yang lahir pada 22 September 1974. Artinya, Ghufron baru berusia 45 tahun.
“Untuk itu mestinya Presiden dapat menunda pelantikan yang bersangkutan karena diduga melanggar ketentuan dalam UU KPK,” harapnya.
Alasan kelima yang membuat ICW menegaskan penolakannya terhadap kelima pimpinan tersebut adalah, salah satu pimpinan tersebut pernah mendapatkan petisi oleh pegawai KPK.
Pada periode April lalu, kata Kurnia, pegawai KPK sempat mengirimkan petisi kepada Pimpinan KPK karena diduga ada hambatan penanganan kasus di Kedeputian Penindakan lembaga antirasuah itu.
“Faktanya, pimpinan Kedeputian Penindakan tersebut saat ini terpilih menjadi Pimpinan KPK baru,” sesalnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menaruh harapan kepada Komjen Firli Cs yang baru saja dilantik sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Jokowi berharap, Firli dan empat pimpinan KPK lainnya dapat memberi penguatan terhadap lembaga antirasuah.
“Saya berharap sekali lagi penguatan KPK itu betul-betul nyata, pemberantasan korupsi bisa sistematis, sehingga betul-betul memberikan dampak yang baik bagi ekonomi, bagi negara kita,” kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (20/12).[jpc]