DEMOKRASI.CO.ID - Jelang tutup tahun 2019, publik dihebohkan dengan satu kasus yang terjadi di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri asuransi. Perusahaan asuransi plat merah itu adalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Diketahui, Jiwasraya mengalami likuiditas keuangan, karena tidak bisa membayar utang ke nasabahnya yang membeli produk JS Saving Plan. Nilainya cukup fantastis, yakni mencapai Rp. 12,4 triliun
Tentunya, segala kasus dan atau peristiwa yang terjadi mustahil tidak diawali dari suatu sebab. Begitu pula dengan kasus Jiwasraya ini.
Kisah awal dari kebobrokan Jiwasraya ini akhirnya diungkap oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setelah sebelumnya sempat irit bicara mengenai kasus ini.
Dalam dokumen OJK yang diterima awak media, Senin (30/12), dipaparkan awal mula masalah keuangan yang dialami Jiwasraya terjadi pada tahun 2004.
Perusahaan asuransi milik BUMN ini melaporkan cadangan keuangannya lebih kecil dari seharusnya, atau bisa dikatakan beresiko untuk jatuh miskin alias bangkrut hingga Rp2,76 triliun.
Kemudian pada laporan keuangan Jiwasraya tahun 2006, perolehan negatif kembali terlihat. Dimana, nilai kepemilikan harta (baik aset dalam bentuk uang ataupun benda) negatif Rp. 3,29 triliun dari nilai utang yang wajib dibayarkan.
Atas laporan tersebut, akhirnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer atau tidak menyatakan pendapat, terhadap laporan keuangan Jiwasraya tahun 2006-2007, karena penyajian informasi cadangan keuangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Terlebih lagi jika melihat laporan Jiwasraya tahun 2008-2009, ketika pengeluaran Jiwasraya membengkak ketimbang pendapatannya alias defisit, yakni mencapai Rp5,7 triliun pada 2008 dan Rp6,3 triliun pada 2009.
Selanjutnya, masih dalam cerita OJK, Jiwasraya mulai berusaha melakukan langkah penyelamatan jangka pendek pada kurun waktu 2010-2012.
Skema penyelamatannya yaitu melanjutkan skema reasuransi. Alhasil, Jiwasraya mencatatkan kelebihan pendapatan sebesar Rp1,3 triliun pada akhir 2011.
Setelah melihat perolehan itu, OJK yang saat itu masih bernama Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam-LK, meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental jangka pendek.
Hingga akhirnya tahun 2012, Bapepam-LK memberikan izin peluncuran produk JS Saving Plan pada 18 Desember 2012, yang dijadikan alternatif cara penyelesaian kasus likuiditas keuangan Jiwasraya.
Produk JS Saving Plan pun dipasarkan Jiwasraya melalui kerja sama dengan sejumlah bank (bancassurance), yang diantaranya Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY.
Akan tetapi, tanpa skema finansial pada Desember 2012 Jiwasraya masih mengalami defisit sebesar Rp. 3,2 triliun, meskipun skema finansial reasuransi Jiwasraya menyumbang surplus pendapatan sebesar Rp. 1,6 triliun.
Tak berhenti disitu, OJK yang sudah resmi berdiri pasca Bapepam-LK dihapuskan, meminta Kementerian BUMN menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan Jiwasraya, termasuk meminta kepastian jangka waktu penyehatannya.
Karena saat itu diketahui tingkat keamanan dan kesehatan perusahaan Jiwasraya atau rasio solvabilitas (RBC) turun hingga kurang dari angka 120 persen.
Direksi Jiwasraya pun menyampaikan alternatif penyehatan yang akan dilakukannya saat itu berupa updating nilai aset tanah dan bangunan atau revaluasi menjadi Rp. 6,56 triliun dan mencatatkan laba Rp. 457,2 miliar.
Pada rentang 2013-2016, OJK memeriksa langsung Jiwasraya dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Akan tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut isi dari pemeriksaan tersebut dalam laporan ini.
Adapun pada 2015, BPK kembali mengaudit Jiwasraya, dan menunjukkan dugaan penyalahgunaan wewenang, lantaran laporan aset investasi keuangan melebihi realita (overstated) dan kewajiban membayarkan hutang di bawah realita (understated).
Akhirnya, pada 2016, OJK meminta Jiwasraya menyampaikan rencana pemenuhan rasio kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme reasuransi.
Namun, pada 2017, OJK mengklaim telah meminta Jiwasraya mengevaluasi produk asuransi JS Saving Plan, yang dicatat Jiwasraya meningkat penjualannya sepanjang periode 2013-2017.
Lantas, didapatkan pada tahun yang sama, pemberian sanksi berupa denda administratif sebesar Rp. 175 juta oleh OJK sebagai peringatan pertama, karena Jiwasraya terlambat dalam menyampaikan laporan aktuaria 2017.
Saat itu, kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada 2017 positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun. Selain itu, perseroan meraup laba Rp. 2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016.
Lalu ekuitas surplus Rp5,6 triliun, tetapi terdapat kekurangan cadangan premi sebesar Rp. 7,7 triliun karena belum memperhitungkan penurunan aset.
Kemudian pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya membahas penurunan pendapatan premi secara signifikan akibat penurunan guaranteed return (garansi imbal hasil) atas produk JS Saving Plan. Ini merupakan imbas dari evaluasi produk tersebut.
Pergantian Direksi Jiwasraya Jadi Awal Kebobrokan Jiwasraya Terkuak
Pada Mei 2018 terjadi pergantian direksi Jiwasraya, dimana Asmawi Syam ditunjuk menjadi Direktur Utama (Dirut). Saat Asmawi memimpin, direksi baru terdapat kejanggalan laporan keuangan yang diberikan Kementerian BUMN.
Kejanggalan dari laporan itu pun semakin menguat pada saat Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) atas mengoreksi laporan keuangan Jiwasraya tahun 2017 bermasalah. Hal itu terlihat dari laba sebesar Rp. 2,4 triliun menjadi hanya Rp. 428 miliar.
Bau amis dari penyalahgunaan wewenang pun mulai tercium pada Oktober-November 2018. Disaat direkso Jiwasraya mengumimkan ketidaksanggupannya membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp. 802 miliar.
Atas dasar itu, kemudian OJK langsung mengadakan rapat bersama dewan direksi Jiwasraya, yang agendanya membahas kondisi keuangan perusahaan pada kuartal III 2018, termasuk meminta langkah penanganan permasalah itu kepada manajemen Jiwasraya.
Akibatnya, pemegang saham pun mengganti Asmawi Syam dengan Hexana Tri Sasongko sebagai Direktur Utama.
Ibarat setali tiga uang, langkah pemegang saham pun tepat, atau sesuai dengan laporan audit BPK yang menyebutkan, Jiwasraya melakukan kesalahan investasi. Bukan malah ntung, justru Jiwasraya buntung.
Karena, Hexana mengungkap aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp. 23,26 triliun, sedangkan kewajiban membayarkan hutangnya lebih tinggi, yakni mencapai Rp. 50,5 triliun. Akibatnya, harta kekayaan Jiwasraya negatif sebesar Rp. 27,24 triliun. Sementara itu, utang dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp 15,75 triliun. (Rmol)