DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo tampaknya lupa dengan pernyataannya sendiri yang hendak merampingkan kabinet dan menghemat anggaran. Pada periode kedua, Jokowi mengangkat 12 orang wakil menteri, tujuh stafsus presiden baru, dan banyak staf kementerian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memangkas beberapa anggaran kementerian untuk melakukan penghematan. Namun, Jokowi malah merekrut puluhan orang jadi pembantunya.
"Iya itulah paradoksnya. Di satu sisi Presiden mengatakan bahwa dia ingin merampingkan birokrasi, tapi di sisi yang lain dia mengangkat akomodasi politik yang luar biasa," ujar ahli hukum tata negara Refly Harun usai menjadi pembicara "Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial", di Bumi Katulampa, Bogor Timur, Sabtu (23/11).
Dia mempertanyakan mengenai langkah Jokowi tersebut yang diklaim untuk meringankan beban kerja kepala negara dan juga para pembantunya di kementerian.
"Apakah beban kerja periode ini akan jauh lebih sulit, lebih complicated dibandingkan beban kerja periode pertama? Harusnya jauh lebih mudah," kata Refly Harun.
Dia tidak melihat beban kerja yang lebih di pemerintahan kedua Jokowi. Pasalnya, pemerintah dan para pembantunya hanya meneruskan program kerja yang sempat terbengkalai pada periode sebelumnya.
"Tapi yang terjadi tidak demikian. Ternyata, membutuhkan politik akomodasi yang luar biasa. Dengan wamen-wamen yang 12 orang tersebut, dengan staf khusus yang banyak, nanti belum lagi menteri-menteri akan menunjuk staf khusus sendiri," ucapya.
"Dan ini menurutnya saya akhirnya tidak efektif, negara ini seperti event organizer yang memperbanyak panitianya, padahal kegiatan tersebut bisa dilaksanakan oleh beberapa orang saja, di luar negeri EO cuman beberapa orang kita seabrek-seabrek itu kebiasaan kita gitu," pungkas Refly Harun menambahkan. [rmol]