DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah tidak memiliki definisi dan konsep baku mengenai radikalisme. Atas alasan itu, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra Fadli Zon menolak penandatanganan “Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada ASN”.
Surat keputusan itu diteken oleh enam kementerian dan lima lembaga pada 12 November lalu dan kemudian dikenal sebagai SKB 11 Menteri.
Menurutnya, yang terjadi saat ini adalah semua yang dianggap bertentangan dengan pemerintah dan kepentingannya bisa dicap sebagai radikalisme.
“Ini jelas bentuk penyusunan regulasi yang bermasalah,” ujarnya dalam akun Twitter pribadi, Jumat (29/11).
Dia kemudian mencontohkan sikap Menteri Agama Fachrul Razi yang telah membuat pelabelan bahwa semua orang yang berjenggot, bercelana cingkrang, atau memakai cadar, dianggap sebagai radikal.
Padahal, jika memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, atau menggunakan cadar dilakukan sebagai bentuk dari penghayatan seseorang terhadap ajaran agama, maka hal tersebut mendapat jaminan dari konstitusi.
“Bagaimana pemerintah akan memberikan perlindungan terhadap hak warganya, yang hak itu dijamin oleh konstitusi, jika Menteri Agamanya cara berpikirnya demikian?” tanyanya.
Dia mengingatkan UUD Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan kepada setiap warga untuk bebas menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.
Dengan kata lain, praktik-praktik dalam beribadah seharusnya tidak bisa dilarang, termasuk cara berpenampilan.
“Tapi hal itu kini malah diberi label negatif oleh Pemerintah. Ini jelas bentuk kemunduran dalam praktik demokrasi,” demikian Fadli. (Rmol)