Oleh: Tony Rosyid
Jika seseorang melakukan sesuatu lalu dapat apresiasi, maka ia akan melakukannya lagi. Makin besar apresiasi, maka makin kuat motivasi untuk mengulanginya. Itulah dasar dari teori pertukaran George C. Homans.
Apreasiasi itu tidak selalu dalam bentuk fisik. Bisa juga dalam bentuk non-fisik seperti pujian dan dukungan.
Dalam situasi dimana rakyat terbelah, dunia medsos menjadi arena yang paling vulgar dan liberal bagi konflik verbal. Masing-masing kelompok saling dukung dan serang.
Ketika seseorang menyerang secara verbal kepada kelompok lawan lalu dapat apresiasi, maka ia cenderung akan mengulanginya kembali. Bahkan lebih kreatif, variatif dan atraktif. Makin besar diapresiasi, makin besar keinginan untuk mengulanginya kembali. Seolah-olah, itu kebenaran yang harus diperjuangan.
Kebenaran adalah kesalahan yang diulang-ulang seribu kali, begitu kata Adolf Hitler, komandan operasi Holocaust yang menewaskan tidak kurang dari 1,47 juta manusia hanya dalam kurun waktu tiga bulan (Agustus-Oktober 1942).. Sampai disini batas etika dan peradaban bangsa seringkali terabaikan.
Kasus dugaan penghinaan agama yang dilakukan Sukmawati Soekarnoputri adalah fenomena sosial yang semakin subur terjadi di era medsos. Sekaligus menjadi indikator adanya keterbelahan sosial yang terus dipelihara pasca pilpres.
Di Indonesia, ada banyak Sukmawati-Sukmawati lain yang begitu bebas mengeluarkan kata-kata yang diduga sebagai penistaan dan hate speech. Meresahkan dan membuat gaduh masyarakat. Persoalan muncul ketika yang satu ditindak, yang lainnya dibiarkan. Yang ini dihukum, yang itu bebas. Yang di sini dikejar-kejar, yang di sana dilindungi. Ada ketidakadilan hukum yang sudah lama dirasakan oleh masyarakat.
Ketika Ahmad Dani mengeluarkan kata-kata ideot, ia divonis satu tahun penjara. Sementara vonis itu tak berlaku bagi beberapa orang yang lain. Inilah dugaan ketidakadilan itu muncul dan cukup meresahkan.
Ketika Sukmawati Soekarnoputri, dan juga beberapa orang lainnya “diduga” melakukan penistaan agama dan hate speech, lalu bebas dari proses hukum, bahkan mendapat dukungan dari sejumlah pihak, maka ini akan membuka peluang lahirnya Sukmawati-Sukmawati yang lain.
“Utamakan dialog,” “perlu dimaafkan,” “jangan salah paham,” “Islam itu rahmatan lil alamin,” dan kata-kata sejenis memang nampak sejuk dan beradab. Sayangnya, kata-kata bijak ini tak berlaku untuk Ahmad Dhani, Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Gus Nur, dan teman-temannya. Inilah yang barangkali membuat salah seorang kader PKS gemas. “Kritik presiden suruh ditangkap, kritik kepada Nabi suruh dimaafkan.”
Ini sebuah protes. Pertama, protes atas tindakan hukum yang terkesan tebang pilih. Kedua, protes atas sikap para tokoh yang tidak konsisten. Kepada orang yang satu mazhab politik mereka minta dimaafkan. Memang, kelihatannya begitu religius dan sangat beradab. Sementara kepada mereka yang tidak berada dalam kelompok politiknya supaya ditindak tegas dan diproses secara hukum. Sikap ini tak lebih dari bentuk kemunafikan sosial untuk menutupi atraksi dramaturgi tokoh-tokoh itu.
Karena sikap dan perlakuan timpang ini seringkali terjadi, akibatnya kepercayaan rakyat baik kepada aparat maupun penguasa semakin hari makin tipis. Harapan akan sebuah keadilan menjadi begitu sangat mahal. Inilah faktor dan sumber utama mengapa ada pihak-pihak yang pada akhirnya begitu kuat dan gigih membenci penguasa.
Keadaan ini bisa diminimalisir jika kasus-kasus seperti Sukmawati ini diproses secara hukum, sebagaimana yang berlaku untuk Ahmad Dhani cs. Soal terbukti atau tidak, proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan di pengadilan yang akan menentukan. Jika setiap laporan terhadap kasus Sukmawati ini selalu mandek, tentu ini akan berdampak kontra-produktif terhadap bangsa kedepan.
Ketidakadilan tidak saja menghadirkan kelompok anti penguasa, tapi secara sosial telah melahirkan konflik antara mereka yang pro dan yang kontra penguasa. Dan jika ini terus dibiarkan, suatu saat bisa menjadi bola salju yang gampang meledak ketika muncul situasi krisis.
Persoalan Sukmawati tidak boleh berhenti pada individu, tetapi mesti menjadi pintu untuk memperbaiki semua sisi dari sistem hukum, politik dan sosial kita. Sehingga tidak ada lagi ketidakadilan serta kemunafikan-kemunafikan narasi dan argumentasi yang hanya akan mengakumulasi kemarahan rakyat di kemudian hari. Dan ini tidak sehat secara sosial dan politik.
Jakarta, 22 November 2019