Oleh: Zeng Wei Jian
POPULATION transfer, resettlement atau “penggusuran", secara singkat berarti pengusiran paksa.
Resettlement biasanya didasari oleh segregasi ethink. Seperti “forced population transfers” yang dilakukan oleh early Ottoman Empire. Istilahnya “sürgün” dari kata “sürmek” yang berarti “to displace”.
"Relokasi", on the other hand, biasanya beralaskan “economic development”. Misalnya; the construction of the Three Gorges Dam in China.
Di bulan Juni 2008, Pemerintah China merelokasi 1,24 juta residents, menggusur 13 cities, menenggelamkan 140 towns dan 1.350 desa.
Tidak ada gejolak. Aman. Tentram. Tertib. Nggak seperti waktu Ahok menggusur Kampung Pulo, Kal-Jod f*cking centre dan Kampung Aquarium.
Sedangkan “penggusuran" artinya forced relocation. Nah itu khan yang dilakukan Ahok alias BTP; pengusiran paksa.
Lantas Gubernur Anies Baswedan menata kota. Sasarannya; area lapak besi tua yang dibangun di atas dan sekitar Kali Gendong. Bikin jalur air macet. Sumber banjir. Selalu ada genangan & jentik nyamuk. Sosialisasi pembongkaran dilakukan dua bulan. Dan Anies Baswedan dituduh melakukan “penggusuran".
Sekali pun menurut politisi Moh. Taufik; Anies Baswedan tidak pernah umbar janji kampanye tidak menggusur.
Unsur "paksaan" ada dalam aksi “penggusuran", dan itu tidak terpenuhi dalam penataan kota Anies Baswedan. Jadi bukan “penggusuran". Ini murni upaya Pemkot Jakarta menata kota. Supaya rapih dan nyaman. Istilahnya; “digeser".
"Kami kaya binatang saja pak. Sudah dihancurkan tempat tinggal kami. Nggak ada relokasi," kata Mochamad Hasan Basri.
Dia ngakunya sebagai warga setempat dan penghuni satu dari 62 bedeng yang dibongkar Satpol PP dan Pasukan Oranye.
Faktanya dari 62 lapak, hanya 25 unit yang dibongkar petugas. Sisanya dibongkar sendiri oleh "pemilik" as-pal. Tidak punya SHM dan HGU. Tapi ya disebut "pemilik" saja.
Tiadanya Pasukan TNI dan Brimob di eksekusi pembongkaran merupakan indikator solid tidak ada "paksaan".
Ahok menurunkan lebih banyak pasukan TNI dan Polisi daripada Satpol PP saat membombardir area-area yang harus diratakan.
Bukti Pemda Anies Baswedan tidak melakukan “penggusuran" alias “forced relocation” diperkuat oleh keterangan Walikota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko.
"Mereka pada umumnya kembali ke tempat tinggal ada di Penggilingan, ada di daerah Kebon Bawang dan Tanah Abang," tuturnya.
Upaya mendegradasi dan down-grade Anies Baswedan tidak berhenti di situ.
Para provokator yang ngaku LSM Pendamping Warga Korban Gusuran membangun narasi lain.
"Kami semua pendukung Anies, tapi kenapa digusur, katanya dulu tidak ada penggusuran saat kampanye," kata warga bernama Subaidah.
Ngaku-ngaku pemilih Anies Baswedan di Pilkada Jakarta. Haters langsung kunyah. Jadi bahan gosip media sosial. Sekali pun mereka ngga pernah liat KTP si Subaidah.
"Cek saja, di daftar pemilih sementara maupun daftar pemilih tetap, mereka ada nggak? Orang ikut pemilu aja enggak kok," kata Walikota Sigit di Balaikota DKI Jakarta.
Statement Walikota Utara lebih valid karena punya data dukcapil dibanding provokasi LSM & aktivis abal-abalan yang modalnya cuma nekat doang. (*)
Penulis adalah anggota Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)