DALAM acara Workshop Manajemen Perguruan Tinggi LLDikti Wilayah IV ada pertanyaan menarik soal adakah "bocoran" agenda Menteri Nadiem yang menjadi terobosan bagi perbaikan sistem pendidikan? Narasumber menjawab, bahwa Menteri kini masih tahap "mendengar".
Dengan merujuk pengalaman soal rencana dahulu Mendikti Nasir mengenai impor Rektor, muncul pertanyaan pula bahwa yang diperlukan sebenarnya adalah sopir atau mobil dan infrastruktur yang baik?
Singkatnya, kita tidak butuh seorang Schumacher Formula 1 untuk menyetir mobil angkot di Bogor yang memang macet. Tak ada gunanya sopir pembalap untuk itu.
Begitu pula dengan sopir "biasa" yang diberi kesempatan mengendarai Ferrari di jalan tol yang bebas hambatan. Ia mesti mampu melesat dengan kecepatan maksimal. Mobil bagus di jalan yang bagus.
Nadiem Makarim menjadi Menteri pilihan Jokowi yang kontroversial. Tidak pernah bersekolah di Indonesia, tidak berlatar belakang bidang pendidikan."Hanya" sukses di bidang bisnis Ojek online.
Jokowi pun yang mengangkatnya dipuji dan dicela. Pembuktian tentu menunggu kerja Menteri Nadiem sendiri. Publik berharap jangan terlalu lama untuk program "mendengar" dan "belajar" nya. Akan buang waktu. Bukankah di era revolusi industri 4.0 ini kecepatan adalah asas dan kunci sukses.
Pendidikan adalah dimensi jangka panjang yang perubahan direspons bertahap. Pendidikan bukan bidang politik yang bisa berubah cepat. Kini yang jadi problem adalah pembangunan karakter. Bukan semata alat atau teknologi.
"Science tell us how to heal and how to kill". Salah salah mengolah ilmu pengetahuan dan teknologi maka sarana untuk membunuh akan menjadi lebih canggih.
Nadiem Makarim fokus kepada ilmu terapan atau teknologi, khususnya teknologi informasi. Sedang ditunggu manfaat besar di posisinya untuk bangsa.
Dengan spirit pembaruan dan perubahan, sebagaimana amanat Jokowi, maka moga program Nadiem tidak menjadi model gerakan "top down" yang tak nyambung dengan realitas yang ada. Akibatnya si sopir menggerakkan angkotnya sangat cepat lalu nenabrak-nabrak kendaraan dan pejalan kaki yang ada disekitarnya. Nadiem menjadi Menteri yang mencelakakan.
Atau kita terus menunggu Nadiem yang sedang berada di ruang bisnis yang tak mampu atau ragu mengoper cara kerja ojeknya ke sistem pendidikan yang berbasis nirlaba. Tempat siswa dan mahasiswa yang bukan "customer".
Di sini kita menunggu Nadiem persis seperti sedang menunggu godot.
Pendidikan yang dibuat semakin tak pasti.
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik