PEMERINTAH dan DPR periode 2014-2019 telah berupaya merevisi UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) secara tertutup dalam dua kesempatan, yakni Januari-April 2018 dan Agustus-September 2019. Menjelang berakhirnya masa tugas, mereka bekerja sekuat tenaga untuk menuntaskan revisi UU minerba, terutama karena adanya kepentingan melanggengkan dominasi oligarki dan sejumlah kontraktor besar terhadap sumber daya minerba negara.
Karena itu, perlindungan dan advokasi terhadap kekayaan SDA minerba milik rakyat yang bernilai ribuan triliun Rupiah itu perlu terus dilakukan. Para aktivis, LSM, tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa, serta seluruh anggota DPR yang amanah harus tetap waspada, termasuk terhadap para pemimpin hipokrit yang memilih bekerja bagi kepentingan oligarki dibanding bagi rakyat.
Bulan Oktober 2019, guna merespons tuntutan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak revisi UU KPK dan rencana penetapan 4 RUU, Presiden Jokowi memang telah meminta agar pengesahan RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pertanahan dan RUU Permasyarakatan ditunda. Namun, terhadap UU KPK yang telah ditetapkan lebih dulu, Jokowi bergeming dan menyatakan tidak akan menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang telah disahkan DPR pada 17/9/2019.
Penundaan penetapan keempat RUU di atas, termasuk di dalamnya revisi UU Minerba, menurut Jokowi adalah untuk bisa mendengarkan dan mengakomodasi masukan-masukan berbagai kalangan. Dikatakan, banyak kritik yang didapat soal pengesahan RUU tersebut (23/9/2019). Kata Jokowi: "Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, substansi yang lebih baik sesuai keinginan masyarakat, sehingga RUU tersebut agar nanti masuk ke DPR selanjutnya".
Faktanya Jokowi tidak bersikap konsisten dan patut diduga terlibat konspirasi oligarkis. Keempat RUU di atas katanya ditunda untuk bisa mendapat masukan dari publik. Ternyata untuk UU KPK, jangankan masukan dari masyarakat, bahkan untuk mengikuti pembahasan terbuka oleh pemerintah dan DPR saja, publik tidak diberi kesempatan! Artinya telah terjadi konspirasi oleh pemerintah, DPR dan partai-partai pendukung, serta para pengusaha besar yang berkepentingan.
Kalau dirunut, hanya butuh waktu 2-3 minggu bagi DPR dan pemerintah untuk mengesahkan RUU KPK. Pekan pertama September 2019, DPR memutuskan akan membahas revisi UU KPK yang tertunda sejak 2017. DPR RI menyetujui RUU KPK menjadi inisiatif DPR pada (5/9/2019) dan mengirimkan draftnya kepada pemerintah pada (6/9/2019). Presiden menerbitkan surat penugasan kepada Menkumham dan Meneg PAN pada (11/9/2019) untuk pembahasan dengan DPR. Setelah pembahasan 3-4 hari, UU KPK yang baru ditetapkan pada (17/9/2019).
Ternyata Presiden Jokowi tidak konsisten dengan ucapan sendiri untuk melibatkan masyarakat memberi masukan. Pembahasan berlangsung super cepat dan tertutup, dan jelas melanggar azas dan ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan sikap seperti di atas, maka Jokowi patut diduga terlibat konspirasi melemahkan KPK dan patut pula diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945 karena melanggar UU 12/2011. Selain itu, dengan ketentuan yang ada dalam UU KPK yang baru, sejumlah oknum yang selama ini terduga koruptor akan lolos dari jerat hukum, dan Jokowi dapat pula dianggap bertanggungjawab atas lolosnya pada terduga koruptor untuk diadili. Seperti diketahui ada sejumlah oknum pejabat dan pengusaha yang namanya sudah beredar luas terlibat dalam kasus-kasus korupsi E-KTP, Bank Century, BLBI, dan lain sebagainya.
Ternyata sikap hipokrit pemerintah dan oknum-oknum DPR dapat pula terlihat dalam pembahasan RUU Minerba. RUU ini masuk Prolegnas 2015-2019 atas usul inisiatif dari DPR.
Pada April 2018, tanpa pembahasan yang terbuka dan pelibatan publik secara luas, tiba-tiba draf revisi UU Minerba beredar di media. Karena dianggap tidak sejalan dengan konstitusi, sehingga menimbulkan protes berbagai kalangan, maka pembahasan draf RUU Minerba versi April 2018 dihentikan, dan draft tersebut menghilang dari peredaran.
Selanjutnya, pada awal November 2018, setelah gagal mencoba melalui draf RUU April 2018, pemerintah menerbitkan draft Perubahan Ke-6 atas PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Ditemukan, rencana revisi PP 23/2010 tersebut bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah ketentuan UU 4/2009 Minerba, misalnya Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171. Terlihat bahwa revisi tersebut bertujuan untuk memberi jalan bagi kontraktor KK dan PKP2B untuk memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis.
Karena pembahasan tertutup dan berpotensi melanggar hukum, serta merugikan keuangan negara, berbagai kalangan masyarakat sipil kembali menyuarakan penolakan terhadap rencana Revisi Ke-6 PP 23/2010. Dengan penolakan ini, sama seperti nasib draf revisi UU Minerba versi April 2018, pemerintahan Jokowi akhirnya membatalkan rencana Revisi Ke-6 PP 23/2010.
Setelah 2 kali gagal menjalankan agenda oligarkis melalui draf RUU Minerba versi April 2018 dan Revisi Ke-6 PP 23/2019, tiba-tiba pada Agustus 2019 DPR kembali menyiapkan draf revisi UU Minerba untuk dibahas secara cepat dan disepakati dengan pemerintah. Bahkan draf RUU Minerba ini tampaknya sudah akan disetujui Jokowi dan siap-siap disahkan dalam Rapat Paripurna DPR akhir September 2019.
Karena adanya demonstrasi besar pada 22-23 September 2019, Jokowi akhirnya menyatakan menunda persetujuan dan penetapan revisi UU Minerba. Revisi UU Minerba tersebut akan dilakukan pada pemerintahan dan DPR periode 2019-2024.
Artinya, saat kontraknya (KK dan PKP2B) berakhir, aset rakyat bernilai ribuan triliun Rupiah berupa cadangan terbukti mineral dan batubara, untuk sementara, selamat dari dominasi kontraktor asing dan swasta nasional.
Namun begitu, aset negara tersebut belum pasti akan dikelola oleh BUMN (Inalum/Holding BUMN Tambang) sebagai pemegang hak konstitusional, jika konspirasi oligarkis pemerintah, DPR dan pengusaha kembali terjadi. Konspirasi tersebut dapat saja membatalkan ketentuan-ketentuan konstitusional penguasaan negara yang ada dalam UU Minerba 4/2009 yang saat ini berlaku.
Sebaliknya mereka justru dapat memasukkan ketentuan baru yang memberi jalan bagi para kontraktor eksisting untuk mendapat perpanjangan kontrak secara otomatis.
Untuk itulah pengawalan dan advokasi masyarakat sipil atas rencana revisi UU minerba tetap harus dilanjutkan. Apalagi jika melihat komposisi dan koalisi partai penguasa hasil Pemilu 2019 yang ada saat ini, di mana partai-partai pro-penguasa di DPR semakin dominan, maka tampaknya pihak-pihak eksekutif dan legislatif akan lebih gampang bekerja sama dan berkolusi bagi kepentingan oligarki.
Artinya, jika masyarakat tidak waspada, maka hasil revisi UU Minerba akan memberi jalan yang mudah bagi tetap berkuasanya kontraktor eksisting atas SDA minerba Indonesia, tidak peduli jika hal tersebut melanggar konstitusi!
Selain tetap waspada terhadap rencana para anggota oligarki, masyarakat sipil perlu terus mengawal dan mengamankan agar setiap ketentuan yang dimasukkan dalam revisi UU minerba konsisten dengan amanat konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945.
UU minerba yang baru harus menjamin dominasi pengelolaan sumber daya minerba berada di tangan BUMN dan BUMD. Namun revisi UU minerba tersebut perlu pula memberi kesempatan kepada pada kontraktor KK/PKP2B existing untuk bekerjasama dengan BUMN melalui pemilikan saham minoritas.
Revisi UU Minerba harus pula memasukkan ketentuan tentang penerapan Resources Fund (RF) atau Dana Tambang (DT) yang bertujuan untuk: 1) pendanaan kegiatan eksplorasi guna menambah cadangan terbukti minerba yang saat ini menuju kelangkaan, dan 2) kegiatan investasi yang produktif dan aman agar generasi mendatang dapat pula menikmati manfaat sumber daya minerba secara berkeadilan (keadilan antar generasi).
Selain hal-hal di atas, revisi UU Minerba harus memuat ketentuan komprehensif terkait aspek kelestarian lingkungan, antara lain menyangkut tata cara tambang yang baik, perlindungan dan partisipasi masyarakat sekitar, serta kewajiban deposit dan kegiatan operasi pasca tambang. RUU harus pula memuat ketentuan agar seluruh kewajiban terkait lingkungan akan terlaksana dengan konsisten, berikut sanksi yang jelas.
Marwan Batubara
Penulis adalah Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)