logo
×

Selasa, 05 November 2019

Mahfud MD Beri Pernyataan Berbeda di Depan Jokowi dan Media, Diungkap oleh Mantan Staf Wapres JK

Mahfud MD Beri Pernyataan Berbeda di Depan Jokowi dan Media, Diungkap oleh Mantan Staf Wapres JK

DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Staf Khusus Wakil Presiden Jusuf Kalla, Azyumardi Azra menuturkan ucapan yang dilayangkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan media berbeda.

Hal ini terjadi saat Azyumardi, Mahfud MD bersama rombongan lainnya menemui Jokowi di istana.

Pertemuan itu guna membahas langkah yang harus diambil berkaitan dengan tuntutan Penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang KPK (Perppu KPK).

Dilansir TribunPapua dari channel YouTube Realita TV pada Minggu (4/11/2019) via TribunWow.com, Azyumardi menuturkan kala itu Mahfud MD yang belum menjabat menjadi Menkopolhukam memberi banyak masukan kepada Jokowi.

Mahfud MD dan tokoh lain yang memiliki kesempatan berbicara menyetujui perppu yang bisa menyelamatkan KPK.

"Revisi itu melemahkan KPK dalam berbagai seginya sehingga kemudian dengan pelemahan KPK itu maka kemudian pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN itu tidak akan tercapai," jelas Azra.

Sehingga dalam forum disepakatilah Jokowi akan mengeluarkan perppu.

"Nah oleh karena itulah semua pembicara delapan orang itu sepakat bahwa presiden perlu mengeluarkan Perppu," sambung Azra.

"Dari 41 orang itu hanya delapan orang?," tanya pembawa acara Rahma Sarita.

Dijawab Azyumardi benar hal ini karena adanya waktu yang terbatas.

"Iya karena kan waktunya terbatas jadi tidak semua orang ada waktu untuk ngomong, saya termasuk yang ngomong tiga hal sebetulnya untuk menyarankan," lanjut  Azyumardi.

Akan tetapi, ia menyoroti pernyataan Mahfud MD berbeda dengan apa yang di media.

Menurutnya saat itu Mahfud MD menyatakan telah menyepakati perlunya Perppu diterbitkan.

"Cuma Pak Mahfud ini ketika di dalam dan ketika waktu keterangan pers berbeda ya," jawab  Azyumardi.

"Di dalam pertemuan dengan presiden, kita itu termasuk Pak Mahfud menekankan pentingnya segera dikeluarkan Perppu KPK."

"Tapi kemudian di luar ia menekankan beberapa alternatif, mengenai apa yang harus dilakukan untuk menghadapi undang-undang KPK yang baru itu hasil revisi itu," jelas Azra.

Diungkapkannya, Mahfud MD justru menutukan ada langkah lain sebagai pengganti perppu.

Satu di antaranya melalui judicial review.

"Padahal di dalam pembicaraan dengan presiden sudah dibilang pertama judisial review itu makan waktu yang lama."

"Yang kedua belum tentu keputusan itu sesuai yang diinginkan oleh masyarakat, yaitu penguatan KPK," papar pria lulusan Universitas Columbia ini.

Selain sulit, judicial review kemungkinan bisa menolak pengajuan KPK agar kembali seperti semula.

Pasalnya, MK mengurusi masalah konstitusi bukan masalah korupsi ataupun masalah hak warga negara.

"Bisa saja Mahkamah Konstitusi menolak ya kan, judicial review itu ditolak karena ini enggak ada urusan dengan soal konstitusional, ini soal korupsi, bukan hak-hak warga negara dan sebagainya sementara waktunya sudah lewat," lanjut Azra.

Lihat videonya sejak menit awal:



Jokowi Tak akan Terbitkan Perppu

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan tidak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.

Dikutip TribunPapua.com dari Kompas.com, Jumat (1/11/2019), hal itu diungkapkan Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta.

Menurut Jokowi, ia menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi.

"Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu," kata Jokowi.

Ia juga menyinggung perihal sopan santun yang harusnya ada dalam tat negara.

"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," lanjut dia.

Dengan tidak adanya Perppu, maka Jokowi akan menjaring orang untuk mengisi jabatan dewan pengawas KPK, yang mana hal itu tertuang dalam UU KPK.

"Dewan pengawas KPK kita masih dalam proses mendapat masukan untuk nanti siapa yang bisa duduk di dewan pengawas," ujar Jokowi.

Diakui Jokowi, ia kini masih menyaring mengenai siapa yang dapat duduk di dalam dewan pengawas KPK.

Jokowi pun meminta dukungan dari publik.

Ia berharaps iapa punyang menduduki jabatan dewan pengawas adalah orang yang mempunyai kredibilitas tinggi dalam pemberantasan korupsi.

"Percayalah yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas yang baik (pada bidang pemberantasan korupsi)," ujar Jokowi.

Diketahui, keberadaan dewan pengawas KPK telah termuat di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pasal 37A ayat (1) menyebut, 'Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, dibentuk dewan pengawas'.

Sementara, ayat (3) menyebut, 'Anggota dewan pengawas berjumlah 5 (lima) orang, 1 (satu) orang di antaranya ditetapkan menjadi ketua Dewan Pengawas berdasarkan keputusan hasil rapat anggota dewan pengawas".

Pasal 37D menyebut, dewan pengawas KPK dibentuk oleh Presiden.

Pada Pasal 37B, dewan pengawas bertugas, antara lain untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi izin penyadapan dan penyitaan serta menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.

Polemik Perppu UU KPK

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mulai berlaku Kamis (17/10/2019).

Dikutip TribunPapua.com dari Kompas.com, Kamis (17/10/2019), peresmian berlaku UU KPK itu tanpa dibubuhi tanda tangan Presiden Jokowi.

Hal ini karena UU itu otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu.

Padahal, UU KPK dikritik sejumlah pihak tak terkecuali KPK sendiri.

UU KPK, dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.

Satu di antaranya mengenai Dewan Pengawas yang mana penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Hal ini menurut KPK dapat mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan.

Selain itu, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Dari keseluruhan, pihak KPK menemukan 26 poin di dalam UU hasil revisi yang bisa melemahkan kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Para pimpinan KPK, pegiat antikorupsi hingga mahasiswa pun menuntut Jokowi mencabut UU KPK hasil revisi lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Jokowi sempat mengatakan akan mempertimbangkan Perppu UU KPK.

Akan tetapi penolakan perppu UU KPK dilayangkan para DPR dan partai politik pendukungnya.

Perppu pun tidak kunjung diterbitkan Jokowi.

Beberapa kali saat ditanya oleh sejumlah awak media pun Jokowi tampak diam dan hanya tersenyum.

Kini Jokowi telah memutuskan untuk tak menerbitkan Perppu UU KPK.[tnc]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: