DEMOKRASI.CO.ID - Komnas HAM menyampaikan sejumlah catatan terkait janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan di periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Komnas HAM mengingatkan Jokowi bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan bagian dari Nawacita.
"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI mencatat bahwa kondisi penegakan HAM pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo masih belum beranjak ke tahap yang lebih baik dari tahun sebelumnya," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat. Selasa, (28/11/2019).
"Meskipun pemerintah telah menempatkan agenda penegakan HAM sebagai komitmen politik pemerintahan yang tercantum dalam Nawacita yang berbunyi 'Menghormati Ham dan Penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu' yang kemudian disusun dalam program kerja pemerintah sebagaimana tercantum dalam RPJM 2014-2019," tambahnya
Dia mengatakan Komnas HAM ingin memastikan penegakan HAM di periode kedua Jokowi dapat terlaksana dengan baik, terukur dan terjadwal. Komnas HAM lalu memberi beberapa catatan.
Taufan Damanik mengatakan ada soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, ada 11 berkas yang telah dilimpahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Sebelas kasus tersebut yakni:
1. Peristiwa 1965/1966,
2. Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982/1985,
3. Peristiwa penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998,
4. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998,
5. Peristiwa Talangsari tahun 1989,
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7. Peristiwa Wasior Wamena 2000-2003,
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 17 Mei 2003,
10. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya, serta
11. Peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA).
Taufan mengatakan hingga saat ini belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tahap penyidikan dan penuntutan. Padahal hal itu sudah diamanatkan dalam Pasal 21 juncto Pasal 23 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan lengkap oleh penyidik. Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan (justice delayed is justice denied)," ucap dia.
Selain mekanisme yudisial, pemerintah juga menempuh mekanisme nonyudisial diamanatkan dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Semenjak UU Nomor Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi, Maka jalan satu-satunya penyelesaian adalah melalui mekanisme judisial. Untuk menggunakan mekanisme nonyudisial maka pemerintah harus membuat dasar hukum dalam bentuk UU atau yang setingkat dengan itu sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 47 UU Nomor 26 Tahun 2000 tersebut," bebernya.
Selain itu, Komnas HAM juga mengingatkan pemerintah dalam penanganan konflik sumber daya alam (SDA). Taufan mengatakan saat ini laporan terkait konflik SDA bukan hanya terkait isu perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.
Namun, karena gencarnya pembangunan infrastruktur maka muncul pengaduan masyarakat terkait pembangunan jalan tol, revitalisasi jalur dan stasiun kereta api, pembangunan bandara, dan waduk.
Pemerintah saat ini sedang mendorong tata kelola dan pelembagaan reforma agraria. Pemerintah juga saat ini telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Namun di satu sisi masih terjadi tindakan kriminalisasi kepada warga yang melakukan upata untuk memperoleh hak atas tanah terutama yang berada di sekitar hutan dan masyarakat adat," ucapnya.
Taufan juga menyinggung soal sengketa lahan antara warga dan TNI-Polri yang bentuknya berupa rumah dinas atau tanah/lahan. Komnas HAM membantu melakukan mediasi dan rekomendasi.
Terakhir, Komnas HAM mengingatkan kasus intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan berekspresi yang masih terjadi. Selain itu juga masih ada persekusi yang terjadi.
"Pekerjaan rumah yang harus dilakukan memang masih cukup banyak oleh Pemerintahan Presiden Jokowi pada Periode Kedua ini. Pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas dalam penyelesaiannya. Hal ini perlu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan amanah konstitusi UUD 1945 dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia," ungkap dia.(dtk)