DEMOKRASI.CO.ID - Abdul Khalik menjadi guru di pelosok Maros, Sulawesi Selatan, sejak tahun 2014. Niat tulusnya mengabdi tidak pernah goyah meski menerima honor yang kecil.
Khalik mengajar tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah DDI Hidayatullah yang terletak di Kampung Bara-baraya, Desa Tanete Bulu, Kecamatan Tompobulu, Maros, Sulawesi Selatan. Pria kelahiran tahun 1991 itu, tak pernah lelah mengasuh puluhan murid yang ada di kampung terpencil itu. Padahal, Khalik tinggal di areal kota Maros, tepatnya di Kelurahan Pettuadae, Kecamatan Turikale. Jarak antara tempat mengajar dengan rumahnya bahkan lebih dari 30 kilometer.
Niat tulusnya untuk terus mengabdi itu tidak pernah goyah meski dirinya hanya menerima honor sebesar Rp 250 ribu per bulan. Gaji itu diterima Khalik setiap tiga bulan sekali dari pihak yayasan. Baginya, membuat anak-anak bisa terus mengenyam pendidikan lebih penting dari sekadar imbalan.
Setiap kali pergi mengajar, anak kedua dari tujuh orang bersaudara ini berangkat dari rumahnya menggunakan sepeda motor yang sudah mulai rusak termakan usia. Dengan menempuh jalur yang cukup sulit, motornya ia simpan di rumah warga, lalu Khalik berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju perkampungan Bara-baraya.
"Saya mengajar itu mulai tahun 2014 sampai sekarang. Kalau dari rumah saya itu jaraknya lebih 30 kilo lah. Karena tidak bisa naik motor langsung, ya motor saya simpan di kampung sebelah, baru saya jalan kaki. Jaraknya itu sekitar 6 kilometer," kata Khalik kepada detikcom, Senin (25/11/2019).
Jika dilihat dari penghasilannya itu, kebutuhan Khalik memang jauh dari kata cukup. Untuk menambah pendapatan, Ia pun kerap membawa madu asli dari kampung tempat ia mengajar untuk ia jual di rumahnya. Uang itulah yang ia gunakan untuk biaya perawatan motornya yang kerap mengalami kerusakan karena harus menempuh medan yang cukup berat.
"Yah biasa kalau saya pulang dari sana, saya bawa madu untuk saya jual. Lumayan buat tambah-tambahan. Karena kalau menunggu honor sih itu jelas tidak cukuplah. Ini motor saya kadang rusak juga, yah mungkin karena jarak sama medan yang ditempuh," sebutnya.
Karena jarak sekolah yang jauh, Pria yang berijazah S1 di STAI Yapnas Jeneponto itu, harus menetap selama beberapa pekan di sekolah, tanpa ada sinyal telekomunikasi dan aliran listrik dari PLN. Ia pun biasanya kembali ke rumah, jika perbekalannya sudah habis.
"Saya start dari rumah itu biasanya pagi, sampai di sana itu malam. Makanya, kami tidak bisa pulang pergi mengajar. Ya kadang dua minggu saya berada di sana, seminggu lagi di rumah. Tidak ada sinyal sama sekali. Listriknya itu dari turbin saja. Hanya bisa satu mata lampu," lanjutnya.
Putra dari pasangan Mustawang dan Mutmainnah itu, awalnya mengaku sangat miris melihat kondisi anak-anak di kampung itu. Mereka dulunya harus belajar di bawah kolong rumah dengan menggunakan perlengkapan seadanya. Selain itu, banyak pula murid yang ia ajar memilih berhenti bersekolah untuk membantu orang tuanya meski belum bisa baca tulis.
Saat ini, Khalik sudah mulai bernafas lega, kehadiran sejumlah komunitas yang menjadi relawan di kampung itu, telah membuat semangat anak-anak untuk meraih cita-cita lewat pendidikan, kian tumbuh. Tak hanya siswa, orang tua yang tidak bisa baca tulis pun mulai sadar akan pentingnya pendidikan.
"Dulu kan kondisinya kami itu belajar di bawah kolong. Itu sangat miris sekali. Makanya banyak anak yang tidak mau sekolah. Sekarang, Alhamdulillah berkat para relawan sudah ada ruang sekolah baru untuk anak-anak biar belajar lebih nyaman. Mereka juga bantu saya mengajar," terangnya.
Melalui relawan Sekolah Kolong Project, anak-anak yang dulunya belajar di bawah kolong rumah dengan penuh keterbatasan, kini telah mendapatkan ruang sekolah yang baru dan layak. Tak hanya mengumpulkan donasi, mereka juga secara bergiliran jauh-jauh ke kampung itu untuk berbagi ilmu dengan anak-anak.
"Saya juga sangat mengapresiasi kehadiran teman-teman dari sekolah kolong. Jika bukan karena mereka, anak-anak itu mungkin masih harus belajar di bawah kolong rumah dengan seadanya," ujar dia. [dtk]