logo
×

Rabu, 20 November 2019

Ironi Impor Cangkul, Cermin Ekonomi Dikuasai Asing

Ironi Impor Cangkul, Cermin Ekonomi Dikuasai Asing

"Cangkul, cangkul yang dalam. Menanam jagung di kebun kita."

LAGU karya Ibu Sud ini sekarang makin sulit kita temui realitanya. Ya, lahan pertanian makin sempit, tergerus oleh laju pembangunan. Tak hanya di kota, di desa pun lahan pertanian sudah banyak beralih fungsi menjadi pemukiman dan industri. Bahkan diprediksi sekian tahun ke depan profesi petani akan punah dari Indonesia. Tak hanya lahan yang menyusut, cangkul pun kini bukan buatan kita lagi.

Sebagaimana diwartakan cnbcindonesia pada 15 November 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengeluhkan Indonesia masih impor alat pertanian seperti cangkul. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor cangkul tersebut terutama berasal dari China.

Mengutip data BPS, total impor cangkul sepanjang Januari-Oktober 2019 mencapai 106,13 ribu dolar AS dengan volume sebanyak 292,44 ton. Impor cangkul tersebut berasal dari China sebanyak 291,44 ton atau setara 99,6 % dengan nilai sebesar 106.062 dolar AS. Sisanya hanya sebesar 7 kg yang berasal dari Jepang dengan nilai sebesar 65 dolar AS.

Negeri Hobi Impor, Produsen Lokal Tekor

Mudahnya impor alat pertanian akan merugikan perajin lokal. Mereka mengeluhkan penjualan yang menurun. Padahal kualitas cangkul Indonesia tidak kalah dengan produk impor. Permasalahannya harga cangkul impor lebih murah.

Sebagaimana diceritakan pada detik.com (11/11/2019), salah seorang perajin cangkul di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Carlim mengaku penjualan cangkul hasil produksinya mengalami penurunan. Biasanya sebulan terjual 150 kodi, tapi pas ada impor jadi sekitar 80 kodi sebulannya.

Kebijakan impor yang longgar ini tak hanya terjadi pada cangkul, namun juga komoditas lainnya. Baja yang ada di pasar Indonesia didominasi oleh produk impor. Pada tahun lalu, baja impor menguasai separuh lebih pangsa pasar baja. Produksi baja di dalam negeri setelah dikurangi ekspor (net produksi) hanya mendapat pangsa pasar sebesar 49%. Padahal industri baja adalah mother of industry sehingga harus dilindungi dari membanjirnya produk impor.

Selain baja, pasar semen Indonesia juga terancam oleh adanya pabrik semen China di Indonesia. Mereka terindikasi melakukan aksi banting harga (predatory pricing). Akibatnya, banyak pabrik semen di Tanah Air berpotensi mengalami kebangkrutan. Saat ini praktik curang yang dilakukan pabrik semen China telah membuat Holcim tumbang dan memutuskan keluar dari Indonesia. Holcim akhirnya diambil alih oleh PT Semen Indonesia Tbk.

Cangkul, baja dan semen adalah segelintir contoh barang yang pasarnya di Indonesia dikuasai asing. Selain ketiganya, masih banyak barang yang kita tergantung pada asing. Sektor infrastruktur dan manufaktur semakin bergantung pada produksi luar negeri. Di antaranya komponen seperti besi yang merupakan komoditas utama untuk pembangunan.

Industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika China membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana. Lengkaplah sudah Indonesia menjadi negeri yang tergantung impor. Kondisi ini berbahaya bagi kedaulatan negara. Jika dibiarkan, pasar akan dikuasai asing dan pengusaha lokal akan menjadi tamu di negeri sendiri.

Tinggalkan Kebijakan Neolib

Pemerintah tahu betul permasalahan impor ini. Namun langkah yang dilakukan tak kunjung menjadi solusi. Jokowi meminta para pejabatnya untuk melakukan inventarisasi mengenai kebutuhan barang setiap tahunnya. Untuk barang-barang kebutuhan yang memang harus diimpor, Jokowi meminta untuk dilihat lagi substansinya. Hal itu apakah dalam barang tersebut ada bagian yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Namun langkah tersebut diragukan efektivitasnya. Neraca perdagangan Indonesia diprediksi akan kembali defisit seiring program percepatan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia. Surplus neraca perdagangan yang telah diraih selama lima bulan berturut-turut tidak akan bertahan lama lantaran impor akan membanjiri Indonesia begitu investasi terealisasi. Maka menjadi jelas, pembangunan infrastruktur tidak untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Selama Indonesia masih menggunakan tata kelola kapitalisme neoliberal, selama itu pula kita akan selalu terdominasi secara ekonomi. Undang-Undang neoliberal yang dibuat rezim akan menjadikan keran impor jebol. Produk asing membanjiri Indonesia. Rakyat hanya bisa gigit jari melihat sumber mata pencahariannya gulung tikar.

Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tidak mendapat dukungan untuk menjadi kuat dan besar. Sehingga tetap kecil melawan serbuan barang impor yang diproduksi korporasi besar. Asing pun menguasai pasar dan mengatur harga. Usaha kecil kian terseok-seok dalam persaingan bebas. Persis pertandingan tinju tanpa kelas. Tentu juaranya adalah korporasi besar milik asing.

Sebagai negara, kita akan didikte asing. Hilanglah sudah kedaulatan. Persis seperti kondisi di masa lalu, ketika VOC menguasai pasar Indonesia dan mengatur harga seenak perutnya. Yang terjadi saat ini adalah penjajahan ekonomi berkedok pasar bebas. Negara besar menjajah negara lain. Mengisap kekayaannya dan sekaligus mendominasi pasarnya.

Lantas kita masih punya apa? Sudah saatnya sistem ekonomi neoliberal ini ditinggalkan dan menerapkan sistem ekonomi yang berdaulat dan mewujudkan kesejahteraan. Yaitu sistem ekonomi yang bersumber dari kebenaran dan mengembalikan kekayaan rakyat pada pemiliknya.

Namun, maukah para pejabat menerapkan sistem ini? Padahal mereka telah menangguk untung besar di sistem sekarang berupa kemaslahatan pribadi. Meski nasib rakyat harus tergadai. Ah, rupanya sangat banyak yang harus kita benahi. Tak hanya sistem, tapi juga orang. Tak cukup orang, tapi juga sistem.

Ragil Rahayu, SE
Komunitas Revo-Ekonomi
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: