DEMOKRASI.CO.ID - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masih menimbang-nimbang sebelum menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bagi Front Pembela Islam (FPI). Meski salah satu syarat SKT, yakni rekomendasi dari Kementerian Agama, telah terbit.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, menyatakan belum keluarnya SKT untuk FPI karena ada sejumlah masalah.
Tito mempersoalkan FPI yang masih menggunakan kata khilafah di dalam AD/ART-nya. Padahal kata Tito, AD/ART ormas harus sesuai dengan UU Ormas. Di dalam UU tersebut, setiap ormas harus tunduk dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
"Di AD/ART itu di sana disampaikan bahwa visi dan misi organisasi FPI adalah penerapan Islam secara kafah (sempurna/menyeluruh) di bawah naungan khilafah islamiah melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah, dan pengawalan jihad," ucap Tito usai rapat di gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/11).
Tapi pendapat berbeda diutarakan Menteri Agama, Fachrul Razi. Menurut Fachrul, istilah khilafah di AD/ART FPI tak perlu dipersoalkan. Sebab menurut Fachrul, khilafah versi FPI berbeda dengan dengan versi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ormas yang sudah dibubarkan pemerintah.
"Kami tanya penjelasannya itu, yang dimaksud beda dengan HTI. Setelah kita baca, berbeda dengan HTI," kata Fachrul tanpa menjelaskan di mana perbedaannya.
Toh, kata Fahrul, FPI sudah menyatakan setia pada NKRI dan Pancasila, serta berkomitmen untuk tidak melanggar hukum. Hal itu yang membuat Kemenag akhirnya menerbitkan rekomendasi bagi FPI.
Lalu bagaimana sebenarnya khilafah islamiah menurut FPI?
Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Prawiro, menjelaskan yang dimaksud khilafah ialah kerja sama dunia Islam.
"Yang saya pahami, khilafah yang saya pahami adalah kerja sama dunia Islam. Kami contohkan di situ ada kalau dalam militer ada NATO, bidang ekonomi dan yang lain ada Uni Eropa," jelas Sugito dihubungi kumparan, Kamis (28/11).
"Mungkin di dunia Islam ingin ada kerja sama di dunia Islam lebih solid. Kami menggunakan istilah khilafah bukan dalam konteks yang selama ini sering diperdebatkan," lanjutnya.
Menurut Sugito, kerja sama tersebut menyangkut berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan militer.
"Misalnya di dunia Islam ada perlu bantuan baik secara politik, ekonomi, dan militer diperlukan. Mungkin lebih cenderung pada kerja sama negara dunia Islam," ucapnya.
Sugito memahami kekhawatiran Tito lantaran istilah khilafah masih dianggap tabu di Indonesia. Namun ia memastikan kesetiaanFPI kepada Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 tak perlu diragukan.
"Menggunakan kalimat atau kata khilafah jadi sepertinya alergi. Saya kira apa yang dijelaskan oleh Menteri Agama sudah benar. Artinya sudahlah enggak usah sangkut paut masalah SKT kok menyangkut detil seperti ini. Kan apa yang dimaksud FPI sama seperti yang disampaikan Menteri Agama. Tetap kita sebagai bagian dari Pancasila dan UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika," kata Sugito.
Sehingga Sugito menilai seharusnya Tito tak perlu terlalu lama dalam menerbitkan SKT untuk FPI.
"Tapi kalau Mendagri mau mengkaji ya itu haknya Mendagri. Kalau menurut saya tidak perlu," pungkasnya. [kp]