DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat media sosial dari Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi, Hariqo Wibawa Satria mengatakan, himbauan untuk menertibkan buzzer sebenarnya sudah lama didengungkan banyak pihak. Puncaknya ketika mahasiswa, pelajar dan masyarakat melakukan aksi demonstrasi malah difitnah oleh oknum buzzer pro pemerintah.
"Karena aktivitas buzzer sudah diluar etika. Pertama, mereka memfitnah gerakan mahasiswa dibayar. Kedua, mereka juga memfitnah Gus Dur dan membuat meme-meme yang tidak bagus tentang Novel Baswedan," ujar Hariqo, Minggu (6/10/2019).
Menurut Hariqo, aktivitas buzzer lainnya yang beretika adalah melakukan intimidasi terhadap Ketua BEM UI dengan mencari profil orang tuanya dan menyebarkannya di medsos. Intimidasi yang dilakukan para buzzer tersebut tidak pantas. Apalagi para buzzer juga memfitnah para tenaga medis PMI yang mengevakuasi korban demontrasi. Ironisnya lagi, para buzzer juga memfitnah Najwa Shihab dengan membongkar identitas suaminya.
Mitra Penguasa
Sementara itu, pegiat media sosial Darmansyah juga mendukung untuk membubarkan buzzer mitra penguasa. Sehingga ke depan tidak ada lagi buzzer lainnya yang berlindung di balik buzzer mitra penguasa tersebut. Selain itu juga tutup situs lainnya yang artikelnya selalu memprovokasi seperti tuduhan Denny Siregar terhadap ambulans berlogo DKI yang membawa batu.
Darmasnyah juga menyarankan, aparat hukum harus menempuh tindakan terhadap para buzzer tersebut. Karena aparat hukum memiliki SDM untuk menangani seperti tim Cyber Crime. Masa operasi di WhatsApp (WA) grup saat jelang Pilpres bisa, namun untuk melakukan pengusutan terhadap akun buzzer dan menghapus akunnya tidak mampu melakukan dengan bekerjasama tim terkait.
Baru-baru ini peneliti dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris mengeluarkan penelitian terbaru mereka berjudul "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation".
Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard ini mengungkap fakta tentang buzzer di 70 negara di dunia pada 2019 yang melakukan manipulasi kabar di media sosial, termasuk Indonesia. Laporan 2019 kami menganalisis tren propaganda komputasi dan perkembangan teknologi, kapasitas, strategi, dan sumber daya," tulis laporan tersebut.
Jumlah negara yang tercatat memiliki pasukan siber (cyber troops) alias buzzer di media sosial terus meningkat dari 2018 yang hanya 48 negara dan 2017 dengan 28 negara. "Selama tiga tahun terakhir, kami telah memantau organisasi global yang memanipulasi kabar di media sosial, baik oleh pemerintah dan partai politik."
Laporan tersebut memunculkan nama Indonesia sebagai negara yang memanipulasi kabar di media sosial untuk kepentingan pemerintahan dan partai politik.
Di Indonesia, dalam laporan tersebut Oxford itu, buzzer disebut berafiliasi dengan politikus dan partai politik, serta kontraktor swasta. Masing-masing mereka terafiliasi dengan organisasi atau kelompok yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer.
Apa yang dilakukan buzzer di Indonesia adalah menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi atau memasang kampanye kotor serta mengarahkan dan polarisasi. Mereka juga melakukan pembuatan disinformasi atau manipulasi media. [ht]