DEMOKRASI.CO.ID - Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyebut reformasi TNI di masa pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih baik dibandingkan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Hal ini terkait dengan desain yang lebih jelas dari SBY yang berlatar belakang militer soal penguatan TNI ketimbang Jokowi.
"Ada perbedaan jelas Pak SBY yang dilatarbelakangi militer lebih mampu mendesain, menata bagaimana penguatan TNI dan kebutuhan republik atas TNI," kata Ismail dalan konferensi pers di Kantor Setara Institute, Jakarta, Selasa (8/10).
"Pak Jokowi nyaris tidak punya pengetahuan dan kemampuan mengendalikan, mendesain pembangunan, atau penguatan reformasi sektor TNI ini dijalankan," imbunya.
Hal pertama yang jadi sorotan Setara adalah desain anggaran militer. Pada era SBY, postur anggaran untuk pengadaan alutsista berada satu tingkat di bawah gaji.
Klaim itu sebanding dengan catatan Imparsial beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa pada SBY mengalokasikan anggaran modal untuk alutsista sebesar Rp25,7 triliun pada 2013. Angka itu berada di bawah anggaran rutin gaji sebesar Rp33,5 triliun.
Sementara pada masa Jokowi, belanja modal hanya mencapai Rp33,4 triliun pada 2017 dan anjlok ke angka Rp19,1 triliun pada 2018.
Hal lain yang jadi kekurangan Jokowi dalam urusan militer, lanjutnya, adalah pengoordinasian TNI dalam penanganan isu besar seperti Papua. SBY, kata Ismail, langsung menerjunkan utusan presiden ke Papua saat terjadi konflik.
Di sisi lain, Jokowi dinilai tak punya konsep jelas. Alih-alih mengirim utusan yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik, Jokowi malah mengutus Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
"Kita lihat aktor utama di Papua ini bukan presiden, bukan pemerintahan sipil, tapi tentara dan polisi. Ini menggambarkan bukan Pak Jokowi sangat percaya dengan tentara, tapi Pak Jokowi tidak punya leadership dalam konteks isu pertahanan dan keamanan," ucap Ismail. [cnn]