DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah gamang dan bimbang. Ia hingga kini belum juga mengambil keputusan soal penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan hasil revisi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di tengah kegamangan Jokowi, parpol memunculkan pernyataan soal pemakzulan. Sedangkan mahasiswa menyampaikan ultimatum.
Kemarin, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan belum ada keputusan apakah Presiden Jokowi akan menerbitkan Perppu KPK atau tidak.
Pratikno meminta semua pihak bersabar menanti keputusan sang Presiden. Dia menegaskan, pengumuman soal jadi tidaknya penerbitan Perppu KPK nanti akan disampaikan langsung oleh Presiden sendiri.
Merespon hal ini, Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia ( KP3I) Tom Pasaribu menyatakan, bahwa polemik revisi UU KPK terkesan sengaja dibuat berlarut-larut.
Dia kemudian mempertanyakan masifnya penolakan terhadap revisi UU KPK yang telah disahkan DPR RI itu.
"Polemik revisi UU KPK yang sampai saat ini belum selesai, sebenarnya hanya untuk membuat kegaduhan," kata Tom kepada wartawan, Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Akibatnya, kata dia, energi dan konsentrasi publik seluruhnya tersedot terhadap sesuatu yang menurutnya tidak terlalu penting. Karena, gencarnya penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK sejauh ini juga tidak berbanding lurus dengan jumlah koruptor yang keluar masuk gedung Antirasuah.
Tom mensinyalir, ada sesuatu di balik ribut-ribut revisi UU KPK. Namun, ia enggan menjelaskan lebih lanjut ihwal siapa saja pihak-pihak yang berada di belakang kegaduhan ini.
Menurut Tom, Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi tidak perlu diterbitkan oleh Presiden Jokowi.
Baginya, tak ada kebutuhan mendesak terkait revisi yang telah dilakukan pemerintah bersama DPR tersebut.
Dia pun mengajak seluruh elemen publik untuk tidak terlampau menganggap KPK sebagai lembaga suci yang haram dievaluasi.
Tom menyatakan, UU 1945 saja sudah mengalami empat kali revisi. Apalagi ini KPK, hanya lembaga Adhoc yang perlu diperkuat secara kelembagaan lewat revisi.
Selanjutnya, Tom membandingkan ribut-ribut revisi KPK dan dugaan pelanggaran seleksi Anggota BPK periode 2019-2024 oleh Komisi XI DPR kemari.
"Ini kok seakan-akan ada upaya untuk menempatkan UU KPK lebih tinggi dari Pancasila dan UUD 1945. Saat ini mereka tampak sedang berusaha meracuni rakyat Indonesia dengan pemahaman mereka. Kita bisa lihat mana pendukung Pancasila dan UUD 1945 dan pendukung UU KPK? Semua orang se-republik ribut soal KPK, sedangkan BPK sepi dari sorotan," ungkap Tom.
Padahal, Tom memaparkan, lembaga BPK adalah instutusi lembaga tinggi Negara dan diatur dalam amanah UUD 1945.
"Lantas kenapa polemik pemilihan anggota BPK yang melanggar UUD 1945 dan UU tidak ada yang meributkan? Kemana mereka semua?. Sementara lembaga adhoc KPK yang hanya berlandaskan UU seluruh tokoh dan elite partai dan politikus menghabiskan energinya untuk membahas UU KPK," ucap Tom penasaran.
"Bila UUD 1945 dapat di amandemen kenapa UU KPK tidak boleh di revisi? Apakah bila KPK bubar Indonesia akan ikut bubar?," sambung Tom.
Menurutnya, justru bila lembaga BPK bubar, Indonesia bisa bubar. Sebab roda pemerintahan tidak akan berjalan.
"Sudah saatnya pimpinan KPK maupun pegawai KPK serta elite partai dan politikus sadar. Atau memang mereka semua sudah lupa dengan Pancasila dan UUD 1945? Hanya karena posisi menteri dan jabatan?," sembur Tom.
"Tidak ada yang salah bila UU KPK direvisi, bagi saya, mereka yang menolak revisi UU KPK tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding mereka yang membela Pancasila dan UUD 1945," pungkas Tom. [ts]