DEMOKRASI.CO.ID - Juru Bicara Ketua Umum Partai Gerindra, Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan munculnya buzzer adalah sinyal pemimpin dan politisi di Indonesia tidak berkualitas.
Dahnil Anzar menilai buzzer menyampaikan informasi di media sosial sesuai dengan permintaan orang yang membayar.
Menurutnya, buzzer tidak menggunakan pemikiran dan gagasan sendiri saat menyampaikan suatu informasi di media sosial.
Hal itu disampaikan Dahnil Anzar dalam acara 'Indonesia Lawyers Club', Selasa (8/10/2019).
Ia menilai, buzzer muncul karena pemerintah minim prestasi.
"Saya melihat kecenderungan buzzer ini muncul, orang menggunakan buzzer muncul ketika kita minim prestasi," ungkapnya.
"Kalau prestasinya tinggi atau prestasinya baik maka sejatinya masyarakat secara automatically menjadi buzzer-nya pemerintah."
Dahnil Anzar menilai pemerintah dan para politisi tak butuh buzzer apabila mereka memiliki prestasi yang tinggi.
"Atau kalau politisi punya track record baik maka secara automatically akan menjadi buzzer-nya pada politisi itu, yang muncul ada kerelawanan, kesukarelawanan untuk meng-endorse (mempromosikan) politisi itu atau pemerintah itu," ucap dia.
"Jadi sebenarnya enggak usah khawatir kalau punya prestasi enggak butuh buzzer karena otomatis masyarakat akan ramai-ramai jadi buzzer."
Ia menambahkan, buzzer berbeda dengan influencer.
Menurutnya, buzzer menyampaikan informasi di media sosial sesuai dengan apa yang diinginkan orang yang membayar.
"Tadi kan Mas Fahmi dan beberapa teman-teman menyebutkan ada Buzzer, kemudian influencer," ujar Dahnil.
"Buzzer kecenderungannya ya dapat feeding dari pihak lain kemudian mereka menyebarkan. "
Menurutnya, influencer cenderung menyampaikan informasi di media sosial sesuai dengan pemikiran dan gagasan sendiri.
"Apa yang dia (buzzer) sebarkan tidak ontentik dari dari pemikiran dia, gagasan dia, sedangkan influencer (dari) gagasannya idenya," ucap Dahnil Anzar.
Ia menambahkan, saat ini di media sosial jumlah buzzer lebih banyak dibandingkan dengan influencer .
Dahnil Anzar menilai fenomena tersebut menunjukkan politisi di Indonesia tidak berkualitas.
"Masalahnya kenapa kemudian buzzer kita lebih ramai ketimbang influencer bagi saya ini adalah sinyal bahwasanya percakapan dan perilaku politisi kita memang tidak berkualitas," kata Dahnil.
Ia menyatakan, semakin maraknya buzzer di media sosial juga menunjukkan pemimpin di Indonesia yang tidak memiliki kualitas yang baik.
"Pemimpin kita tidak berkualitas, kenapa lebih banyak buzzer ketimbang influencer, kenapa?," ujar Dahnil Anzar.
Dahnil Anzar menganggap saat ini pengguna media sosial cenderung tak menggunakan gagasan dan pemikiran sendiri saat menyampaikan informasi.
"Karena penguna social media sedikit yang bisa memproduksi ide dan gagasan yang otentik, kita butuh ontetisitas, kita butuh originalitas, ini tidak diproduksi," tutur Dahnil Anzar.
Ia menilai hal itu juga memicu munculnya buzzer.
"Akhirnya yang terjadi ada pesanan dari pihak-pihak lain untuk meng-spraid apa yang menjadi pesan dan kepentingan mereka, " tutur Dahnil Anzar.
"Itu yang kita sebut dengan propaganda, yang muncul dan banyak muncul di sosial media adalah propaganda."
Dahnil Anzar menambahkan, kini majalah Tempo mendapat banyak serangan karena menyampaikan informasi yang tak sesuai dengan orang yang berkepentingan.
"Kill the messenger, Tempo kan habis-habisan hari ini, kill the messenger, kenapa?," ujar Dahnil Anzar.
"Karena tidak sesuai pesannya dengan kepentingan orang yang merasa dirugikan di situ."
Ia lantas menyinggung kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat pilpres 2019 lalu.
"Tempo ini kan kadang-kadang diserang oleh pihak 01, misalnya atau sebutlah yang pro pemerintah," ucapnya.
"Kadang-kadang (Tempo) diserang oleh oposisi juga kok, kan itu yang terjadi."
Dahnil Anzar menyatakan, buzzer adalah pihak yang menyerang majalah Tempo karena berita-berita yang dimuat di majalah itu dianggap tak pro pemerintah.
"Maksud saya adalah ini perilaku buzzer memang, yang menyerang Tempo adalah perilaku buzzer," ujarnya.
Simak video selengkapnya berikut ini menit 4.58:
[tn]