DEMOKRASI.CO.ID - Upaya pemerintah membasmi informasi bohong alias hoax yang bertebaran di media sosial dipertanyakan. Pasalnya, pemerintah dianggap seperti menggunakan standar ganda dalam kampanye anti hoax.
Setidaknya, pengakuan pemerintah yang pernah memiliki buzzer atau pendengung saat Pilpres 2019 menjadi bukti inkonsistensi tersebut.
Filsuf dari Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung bahkan menyebut upaya pemerintah untuk memberantas hoax akan sia-sia. Lantaran keberadaan buzzer seperti dilegalkan jika kubu pemerintah memang terbukti pernah menggunakan jasa mereka.
“Bila istana menggaji buzzer, maka tak ada lagi alasan membasmi hoax. Legaaaal, Ndro,” sindirnya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (6/10).
Sebelum mengunggah kicauan ini, Rocky sempat mengkicau ulang pemberitaan mengenai pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang mengakui bahwa pemerintah sudah tidak membutuhkan buzzer.
Pengakuan disampaikan karena buzzer pendukung Jokowi tengah disorot publik seiring hoax yang disampaikan saat gelombang aksi di DPR beberapa waktu lalu.
Moeldoko lalu memberi imbauan kepada para buzzer pendukung Jokowi agar menyebarkan emosi positif dan bukan menciptakan narasi kebencian.
Mantan panglima TNI itu lantas menguraikan bahwa para buzzer tidak dalam satu komando dan pemerintah tidak pernah membuat buzzer secara resmi. Mereka, katanya, bergerak dan berkembang masing-masing.
Awanya, lanjut Moeldoko, buzzer bertujuan untuk menjaga marwah pemimpinnya. Namun dalam kondisi sekarang, dia memandang para buzzer tersebut sudah tidak diperlukan lagi. Termasuk para pendengung politik.
“Dalam situasi ini bahwa relatif sudah enggak perlu lagi mereka (buzzer). Karena yang diperlukan adalah dukungan-dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif,” tegasnya. [rm]