DEMOKRASI.CO.ID - Universitas Oxford menerbitkan penelitian berjudul 'The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation' yang digarap oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard.
Dalam penelitian itu disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019.
Laporan setebal 23 halaman itu disebutkan bahwa sejumlah pihak di Indonesia yang menggunakan buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta.
Meski tidak secara spesifik menyebut nama atau partai politik di Indonesia yang dimaksud, penelitian itu membeberkan setidaknya ada tiga tujuan yang diincar para buzzer, yakni menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi.
Lihat juga: Buzzer Usai Kemenangan Jokowi: Jual Produk hingga Hoaks
Metode penelitian yang dilakukan oleh Samantha dan Philip meliputi empat tahap, yakni analisis konten atas artikel yang melaporkan aktivitas buzzer, studi literatur atas arsip publik dan laporan ilmiah, menyusun studi kasus yang ada di sebuah negara, hingga konsultasi dengan para ahli.
Laporan itu membeberkan buzzer di Indonesia digerakan oleh bot dan manusia secara langsung. Penelitian itu tidak menemukan buzzer di Indonesia digerakkan oleh robot atau akun yang diretas seperti di beberapa negara seperti di Brazil, Jerman, Korea Utara, hingga Rusia.
Samantha dan Philip dalam penelitiannya menyebut buzzer di Indonesia menggunakan disinformasi dan memanipulasi media untuk menyesatkan pihak yang menjadi target. Selain itu, buzzer di Indonesia juga dikerahkan untuk memperkuat konten yang ada di media sosial.
"Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum. Di 52 dari 70 negara yang kami periksa, pasukan dunia maya secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs berita palsu atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna," demikian laporan penelitian Oxford.
Di sisi lain, penelitian itu menyebutkan buzzer di Indonesia memanfaatkan beragam media sosial dalam bekerja. Tercatat, buzzer di Indonesia menggunakan Twitter, WahatsApp, Instagram, dan Facebook.
"Meskipun ada lebih banyak platform dari sebelumnya, Facebook tetap menjadi platform dominan untuk aktivitas pasukan siber," tulis laporan penelitian itu.
Adapun besaran uang yang diterima oleh buzzer di Indonesia tercatat berkisar antara Rp1-50 juta. Buzzer di Indonesia juga dinilai memiliki kapasitas yang rendah karena melibatkan tim yang kecil dan aktif pada momen tertentu, seperti saat pemilihan atau referendum.
"Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri," mengutip hasil penelitian.
Staf Khusus Presiden Adita Irawati telah membantah pemerintah menggunakan buzzer. Ia menilai isu buzzer di belakang istana hanya isu yang dibuat oleh warganet di media sosial.
"Buzzer istana ini kan istilah yang diciptakan oleh netizen sendiri, kami itu secara official tidak pernah ada buzzer di istana," ujar Adita di Jakarta, Sabtu (5/10).
Meski membantah, Adita tidak menampik ada warganet yang membentuk polarisasi untuk mendukung kubu tertentu. Warganet itu, lanjut dia, ada yang oranik dan nonorganik.
"Nah yang organik ini betul-betul militansinya luar biasa sehingga dalam tanda kutip membela, men-defense, apa yang menjadi program atau keputusan dari pemerintah," ujarnya.
Adita menambahkan akun organik yang mendukung pemerintah merupakan relawan yang bergerak tanpa diperintah.
Lebih dari itu, Adita mengimbau semua pihak yang berhgerak militan di media sosial untuk menahan diri dan melakukan cara-cara yang positif. [cnn]