logo
×

Sabtu, 05 Oktober 2019

Pro Jokowi Kuasai DPR-MPR-DPD, Buzzer Dominasi Medsos, Cuma Mahasiswa Harapannya?

Pro Jokowi Kuasai DPR-MPR-DPD, Buzzer Dominasi Medsos, Cuma Mahasiswa Harapannya?

Oleh: Sutar Temanggung
Penulis Indonesiana

Lengkap sudah  dominasi pro pemerintah Joko Widodo atau Jokowi di segala lini.  Kursi Ketua DPR diduduki Puan Maharani dari PDIP dan Ketua MPR dijabat Bambang Soesatyo dari Golkar, partai pendukung pemerintah. La Nyalla Mattalitti, pendukung  Jokowi, juga menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah.

Tak ada yang tersisa.  Di ranah publik pun,  dominasi  buzzer pro  Jokowi di media sosial pun disorot.   Para buzzer yang menyokong Jokowi sejak pemilihan presiden lalu,  masih aktif mempengaruhi opini publik.

Kondisi itu amat menguntungkan jika  kebijakan pemerintah  baik-baik saja dan menyenangkan  mayoritas rakyat. Masalah, akan muncul jika langkah pemerintah melenceng dari keinginan khalayak, maka tak ada saluran untuk mengritik  atau  mengubah policy pemerintah.

Kepentingan elite politik

Demokrasi  juga bukan jaminan seorang pemimpin  selalu mementingkan aspirasi masyarakat.  Dalam demokrasi pun berlaku hukum besi oligarki.

Teori ini mula-mula dirumuskan oleh Robert Michels untuk mengambarkan kecenderungan elitisme  di partai politik.   Idealnya partai politik  merupakan  penyalur aspirasi rakyat. Tapi, menurut Michels, semua partai politik akan terjangkit penyakit elitisme dan menjadi kelas tersendiri yang disebut oligarki.

Belakangan, teori ini diperluaskan bukan hanya untuk partai politik, tapi juga  sistem politik.  Elitisme itu  terjadi di kalangan penguasa atau sekolompok partai-partai yang berkuasa. Akibatnya  mereka bisa seenaknya mengabaikan aspirasi masyakat dan mengutamakan kepentingan mereka  sendiri.

Contoh yang paling nyata tentu saja pelemahan  Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK.  Masyarakat luas jelas tidak berkepentingan KPK menjadi lemah.  Publik yang cerdas pasti menginginkan komisi antikorupsi yang kuat agar biasa membongkar korupsi para elite penguasa.

Sejumlah Rancangan Undang-undang yang  akhirnya ditunda juga mengandung kepentingan penguasa. RUU  Permasyarakatan, misalnya, mengutamakan kepentingan   koruptor. Mereka mendapat hak remisi  dan  rekreasi.  Adapun RUU Pertanahan  lebih  memihak pada kepentingan pengusaha yang umumnya juga berkolusi dengan penguasa. Konsesi pemakaian tanah negara  dipermudah dan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Harapannya cuma mahasiswa?

Gelombang  demomontrasi kaum milenial sebetulnya ingin mendobrak sistem politik kita yang  cenderung melayani elite politik.   Tapi sebagai kelompok penekan, demo mahasiswa memiliki keterbatasan. Bukan hanya gampang diredam oleh penguasa, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.

Harapan yang lain,  tentu saja masyarakat sipil yang peduli atau adanya pergeseran peta politik, sehingga muncul oposisi yang berani mengkritik dan mengontrol pemerintah. Misalkan, ada partai yang berani membela KPK. Tentu pemerintah dan DPR tak seenaknya melemahkan komisi antikorupsi. ***
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: