Oleh Nasrudin Joha
Peristiwa penusukan Wiranto itu merupakan satu fakta, pelaku dikaitkan dengan ISIS dan JAD itu opini, sementara Jokowi mengajak segenap elemen anak bangsa untuk memerangi radikalisme dan terorisme itu narasi. Saya ingin mengajak pembaca, mencoba berfikir "agak nakal" agar sajian berita yang diunggah media, dapat kita pilah-pilah rasanya.
Untuk itu, kita akan memulainya dengan membahas aspek fakta, kemudian opini, dilanjutkan dengan mengkritik narasi yang disuguhkan.
Secara fakta, peristiwa penusukan Wiranto di Pandeglang merupakan realitas yang nyata, peristiwa itu benar-benar ada, bukan hoax, bukan khayalan. Namun, dalam aspek fakta saja, peristiwa penusukan Wiranto ini terdapat banyak kontroversi.
Karenanya, yang perlu ditelisik lebih jauh adalah apakah fakta penusukan Wiranto itu sebuah fakta insiden, atau fakta yang didesain. Dua model fakta ini, umum terjadi dalam sebuah peristiwa.
Seseorang merayakan ulang tahun, itu fakta. Namun ini terkategori fakta yang didesain, direncanakan, sudah diketahui sejak awal kapan tanggal ulang tahun, dan bisa dipersiapkan sejak dini. Adapun peristiwa kecelakaan maut di Jagorawi, itu juga fakta namun murni insiden. Tanpa rencana, tanpa rekayasa.
Mari membahas fakta penusukan Wiranto. Dari sisi waktu, kronologi dari berbagai sumber itu menyebut peristiwa terjadi antara pukul 11.40 sampai pukul 12.00. Sekitar itulah.
Namun setelah dilakukan pengecekan berita online, rata-rata berita baru muncul diatas pukul 13.00. Ada yang mengunggah berita tentang Wiranto pertama kali pukul 13.14, 13.15, dan seterusnya. Tak ada laman berita yang menampilkan berita kejadian sebelum pukul 13.00 atau apalagi pukul 12.20 an.
Padahal, untuk sekelas pejabat Kemenkopolhukam itu bukan saja pengawal yang melekat. Namun unsur wartawan juga melekat. Apalagi, dari kronologi yang beredar, Wiranto melakukan banyak kegiatan sebelum akhirnya ditusuk.
Jika wartawan melekat ini hadir, tentu berita penusukan Wiranto ini sangat seksi. Wartawan bisa melakukan wawancara langsung, atau setidaknya bisa mengunggah berita di kanal beritanya paling lama 15 menit setelah kejadian.
Idealnya, pukul 12.15 (paling lama) berita tentang penusukan Wiranto ini sudah tayang dan viral. Tentu saja, keterlambatan tayang itu bisa saja terjadi, namun untuk berita seksi seperti ini sangat aneh jika jeda penayangan berita butuh waktu lama, padahal berita online itu secara teknis bisa saja real time. Berbeda dengan koran yang menunggu cetak dulu.
Karenanya, wajar saja jika dalam konteks ini publik berpraduga ada pengkondisian sebelum semua media koor memberitakan peristiwa penusukan Wiranto.
Selanjutnya, berita online ini diiringi dengan beredarnya video amatir yang merekam kejadian penusukan Wiranto. Jadi, berita online dahulu keluar baru disusul viralnya video amatir yang merekam detik-detik penusukan Wiranto.
Padahal, merujuk karakter sosial media, biasanya konten netizen itu selalu lebih dahulu viral ketimbang unggahan kanal berita. Sebagai contoh, kasus viralnya video polisi masuk masjid tanpa mencopot sepatu saat mengejar mahasiswa akai demo di makasar.
Video amatir netizen viral dahulu, baru ada berita polisi yang mengklarifikasi itu hoax, sejurus kemudian muncul lagi berita polisi membenarkan peristiwa dan meminta maaf. Contoh lain adalah video wanita di Bogor (Sentul) masuk masjid membawa anjing, videonya viral terlebih dahulu (nyaris real time), baru beritanya menyusul.
Dalam kasus penusukan Wiranto, itu berita dulu yang viral baru menyusul video atau setidaknya bersamaan dg video amatir yang beredar. Itupun terjadi setelah diatas pukul 13.00, padahal peristiwa penusukan dikabarkan antara pukul 11.40 atau hingga 12.00. Karakter netizen, kalau mendapat video itu tak mau menunggu beberapa menit atau hingga satu jam lebih. Mereka, pasti akan memviralkannya real time.
Isi berita juga variatif, dari Kabar Wiranto selamat dari penusukan dan hanya anggota polisi yang terluka karena melindungi Wiranto, sampai akhirnya terbit berita yang mengabarkan Wiranto terluka bagian perut. Alat untuk menusuk juga mengalami reinkarnasi, dari awalnya diberitakan gunting kemudian berubah menjadi senjatanya Naruto.
Dari aspek fakta, muncul pula analisis netizen yang mengabarkan adanya kondisi Wiranto telah mengenakan perban, padahal di TKP tdk terlihat adanya darah yang tercecer jika benar Wiranto ditusuk. Video yang beredar, setelah diolah secara show motion, ditemukan fakta unik ini.
Dari aspek fakta, juga aneh dimana pelaku kejahatan membawa identitas lengkap juga membawa istri turut serta. Sejahat-jahatnya penjahat, mereka itu ingin istri duduk manis dirumah untuk menikmati kejahatan suaminya, cukuplah suami yang merampok tugas istri hanya menikmati hasil rampokan.
Faktanya, pelaku (boleh dibaca: pelakon), justru membawa istri turut serta lengkap dengan aksesoris pakaian Islami.
Dari sisi opini, pada saat kabar penusukan ini beredar polisi bersamaan memproduksi opini yang disajikan bersamaan dengan kabar penusukan Wiranto, keadaan ini menjadikan bias berita (antara fakta dan opini campur aduk).
Opini yang ikut diedarkan, misalnya : polisi menduga pelaku terkait ISIS, kemudian pelaku anggota JAD, BIN menyebut Wiranto ditarget tiga bulan sebelumnya, Wiranto memimpin polisi langsung dalam pemberantasan terorisme. Semua info ini hanya bersumber dari polisi, dan jika ada yang bersumber dari pelaku maka ini belum memenuhi kreteria cukup karena belum terpenuhi unsur dua alat bukti.
Opini yang diedarkan inilah, yang kemudian menjadi jembatan narasi (Naration Bridging). Narasinya, tdk hanya dimainkan oleh Menag, Wapres, jaksa Agung, ketua MPR RI, Megawati, bahkan hingga Jokowi.
Jokowi langsung berpidato gagah, mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk bersama memerangi radikalisme dan terorisme. Menag, mengajak semua tokoh lintas agama untuk berdoa. JK, juga menyemburkan ledakan kata terkait radikalisme, mega mengharu-birukan petistiwa dengan mengirim karangan bunga untuk Wiranto.
Dalam perkara lain, misalnya kasus pembantaian di Wamena, Jelas banyak korban jiwa, dibunuh secara keji, dibakar, ribuan mengungsi, kehilangan harta benda dan tempat tinggal.
Mana pidato Jokowi? Mana bela sungkawa Jokowi untuk korban Wamena? Mana pernyataan JK? Mana kerangan bunga mega untuk Wamena? Mana doa Lukman hakim untuk Wamena? Mana narasi Bamsoet untuk menyelamatkan wanena?
Atau kasus lain lagi, agak dekat dan sangat dekat di Jakarta. Kasus korban mahasiswa yang menolak RUU KUHP dan UU KPK.
Mana pidato Jokowi? Mana bela sungkawa Jokowi untuk korban mahasiswa? Mana pernyataan JK? Mana kerangan bunga mega untuk korban mahasiswa? Mana doa bersama Lukman hakim untuk mahasiswa? Mana narasi Bamsoet untuk membela mahasiswa?
Saya rasa, kasus Wiranto ini kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan korban mahasiswa apalagi tragedi Wamena. Namun, opini dan narasi yang dibangun terlalu lebai, kebanyakan micin.
Kalau memasak rendang, dagingnya cuma 1 ons, santannya 10 kg, micinnya 15 kg. Jadi, rasanya tidak karuan.
Fakta kecil cuma ditusuk, hebohnya sundul langit. Langsung narasi radikalisme dan terorisme yang dikumandangkan, selanjutnya narasi ini akan digunakan untuk menyudutkan kelompok-kelompok Islam, sambil terus digunakan untuk menutupi kegagalan rezim.
Sementara penanganan polisi atas demo mahasiswa yang begitu radikal, persekusi kepada UAS yang begitu radikal, pembantaian Wamena yang sangat radikal, ngototnya Pemerintah mempertahankan UU KPK yang begitu radikal, tenggelam karena peristiwa ini.
Karena itu, wajar jika netizen begitu kritis menyikapi kasus ini dan justru mempersoalkan konten opini dan narasi yang dibangun rezim. Terlihat jelas, netizen tampak tak prihatin mendengar kabar Wiranto ditusuk, bahkan ada yang berkomentar kenapa tidak mati sekalian.
Nampaknya, fenomena ini menggambarkan betapa Wiranto sangat dibenci publik. Karena itu, wajar saja terlepas fakta ini insiden atau didesain, semua opini dan narasi yang dibangun ditentang publik. [*]