DEMOKRASI.CO.ID - Kunjungan politik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ke DPP PKS pada Rabu (30/10) dinilai sebagai upaya komunikasi politik lintas koalisi. Dengan kata lain, Nasdem yang notabene partai pendukung pemerintah mulai merasa tidak nyaman berada di dalam Koalisi.
"Ketika di internal koalisi Jokowi sudah tak nyaman lagi, maka berkomunikasi dengan partai oposisi seperti PKS adalah cara yang tepat. Berteman dengan partai di luar pemerintah," kata Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Kamis (31/10).
Menurut Ujang, Nasdem yang kecewa terhadap putusan Presiden Jokowi yang memberikan posisi Jaksa Agung kepada PDIP, dinilai wajar jika menghimpun kekuatan di luar koalisi.
Jadi, jika Nasdem menjalin komunikasi dengan PKS, wajar. Karena Nasdem sedang mencari kawan. Baik kawan di internal koalisi Jokowi. Maupun kawan di oposisi. Bagi Nasdem, politik itu sifatnya cair. Tak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan," kata Ujang.
Lebih lanjut, Direktur Indonesia Political Review ini menyebut peta koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf akan sangat mungkin untuk berubah. Sebab, Jokowi menggunakan hak prerogatifnya untuk mengakomodir kepentingan semata.
"Koalisi yang dibangun Jokowi bukan koalisi ideologis. Yang dibangun koalisi kompromis, pragmatis, dan kepentingan. Tentu koalisinya akan mudah pecah. Termasuk bisa pecah di tengah jalan," tutur Ujang.
Koalisi berbasis kepentingan akan mudah pecah. Jika kepentingannya tak diakomodir atau jika kepentingannya sudah beda," tegasnya.(rmol)