DEMOKRASI.CO.ID - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, agama hadir untuk memanusiakan manusia dan menjaga harkat martabat manusia. Namun, kata Menag, agama dapat melahirkan fanatisme yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang baik.
“Nah, dari fanatisme ini dapat melahirkan sikap ekstremisme,” kata Lukman dalam diskusi dan peluncuran buku ‘Moderasi Beragama’ di kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Selasa (8/10).
Dalam konteks Indonesia, jelas Lukman, moderasi beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Uniknya, ada dua tradisi yang tidak dimiliki bangsa lain, yaitu heterogenitas pada bangsa Indonesia dan religiusitasnya.
“Maka, saya mengusulkan tiga pendekatan, pertama setiap kita dapat mensosialisasikan moderasi beragama ini melalui berbagai sarana,” ujarnya.
Kedua, secara kelembagaan. Lukman menjelaskan, Kemenag dengan penuh kesadaran menjadikan setiap program dan kebijakan di Kementerian Agama berorientasi pada moderasi beragama. Ketiga, tidak cukup hanya dilakukan kemenag, tapi juga harus menjadi gerakan semua elemen.
“Melalui perjuangan yang tidak sederhana, moderasi beragama akhirnya masuk menjadi bagian terintegrasi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020 dan 2024. Setiap kita pada akhirnya memiliki tanggung jawab agar moderasi beragama ini tidak terpisahkan dari kehidupan beragama dan kemajemukan,” katanya.
Ia mengatakan, buku ini dimaksudkan untuk menjawab apa itu moderasi beragama? Mengapa moderasi beragama perlu untuk menjadi proses internalisasi pada diri setiap anak bangsa, dimana harapannya mampu diejawantahkan dalam kehidupan keseharian.
“Selain itu, buku ini dimaksudkan mengenai bagaimana moderasi beragama dapat diimplementasikan, tidak hanya menjaga semangat kenegaraan berindonesia, tapi juga semangat menjaga peradaban,” katanya.
“Mudah-mudahan setiap kita dapat menerima buku ini untuk menjawab apa itu moderasi beragama, karena ada bab khusus yang berbicara mengenai konseptual moderasi beragama,” ujarnya melanjutkan.
Menag menambahkan, buku ini menjelaskan secara singkat bagaimana pengalaman empirik sebagai bangsa dalam menerapkan dan melaksanakan prinsip-prinsip dasar bermoderasi agama. Menurut dia, sejak ratusan atau ribuan tahun lalu, bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis.
“Maka, strategi penguatan sekaligus implementasi dari moderasi beragama ini harus ada pelembagaannya,” ucapnya. [iis]