logo
×

Selasa, 01 Oktober 2019

KPK Buka Peluang Ajukan PK ke MA soal Perkara BLBI yang Bebaskan Syafruddin

KPK Buka Peluang Ajukan PK ke MA soal Perkara BLBI yang Bebaskan Syafruddin

DEMOKRASI.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) dalam perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

“Untuk PK, nanti kami akan dalami ya kalau ada itu bisa membantu apa ‘meng-clear-kan’ perkara, kenapa tidak? Kemarin kan tiga hakim (yang mengangani kasasi perkara BLBI di Mahkamah Agung) beda semua kan yang satu pidana yang satu perdata yang satu administrasi,” kata Alex di Jakarta, Selasa (1/10).

Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro menyatakan, hakim ad hoc tindak pidana korupsi Syamsul Rakan Chaniago terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim dan dihukum tidak boleh menangani perkara selama 6 bulan. Syamsul adalah salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap BDNI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua, dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin, memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan. Dari tiga hakim itu, hanya Salman yang memperkuat putusan tingkat banding yang menghukum Syafruddin dengan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Pelanggaran etik yang dilakukan Syamsul Rakan Chaniago adalah namanya masih tercantum di kantor law firm (firma hukum) walau sudah menjabat sebagai hakim ad hoc tipikor di MA. Selain itu, Syamsul juga terbukti mengadakan pertemuan dengan pengacara SAT yaitu Ahmad Yani di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38-18.30 WIB. Padahal, saat itu Syamsul duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim SAT.

“Akan kami dalami terkait dengan apa yang bersangkutan dijatuhi hukuman kode etik apakah terkait dengan penanganan perkara SAT. Sejauh mana relevansinya terkait dengan keputusan yang kemarin dia buat kan? Apakah putusan yang kemarin dibuat itu terkait dengan pelanggaran kode etik atau tidak akan kita lihat relevansinya dengan perkara yang diputuskan,” ucap Alex.

Dalam KUHAP telah ditegaskan, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyebutkan, “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

Banyak pakar hukum mengatakan pengajuan PK oleh jaksa itu adalah kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) dan langkah jaksa semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2016 juga memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan PK.

Dalam putusannya, MK menegaskan, rumusan Pasal 263 ayat 1 KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Sebelumnya putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Syafruddin Arsyad Temenggung.

Sementara, pada 2 Januari 2019, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Namun Syafruddin mengajukan kasasi ke MA dan membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018. Majelis kasasi menilai, Syafruddin melakukan perbuatan yang didakwakan tapi bukan dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Ketua majelis Salman Luthan sependapat bahwa perbuatan SAT adalah tindak pidana korupsi. Namun, hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan SAT merupakan perbuatan hukum perdata. Sementara, hakim anggota 2 Mohamad Asikin berpendapat bahwa perbuatan SAT merupakan pelanggaran hukum adminsitrasi. (AIJ/Ant)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: