DEMOKRASI.CO.ID - Hikmahanto Juwana meminta Joko Widodo alias Jokowi mengkaji lebih dalam lagi wacana penggabungan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan.
Dalam keterangan tertulisnya, guru besar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto itu menduga wacana tersebut muncul karena pemerintah meniru Australia yang menjadikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan mereka menjadi satu.
"Kemungkinan ini mau meniru di Australia, di sana ada Department Curent Affair and Trade, dugaan saya seperti itu. Namun, perlu diketahui, bahwa ide Australia itu adalah sebagai negara yang bertumpu pada diplomasi ekonomi, maka penggabungan dua departemen itu jadi relevan," ujarnya.
Ia mengingatkan, urusan kebijakan luar negeri, tidak hanya soal ekonomi tetapi juga politik, pertahanan, dan lain-lain. Di Amerika Serikat, sebagai contoh, posisi menteri luar negeri sangat strategis dan menentukan serta turut ada di urutan puncak hirarki kepemimpinan negara itu.
Jika Indonesia ingin menjadikan semua kebijakan luar negeri termasuk eskpor-impor menjadi satu tangan, kata dia, maka penggabungan bisa saja dilakukan.
"Namun, yang pasti agak repot kalau pemerintah kita lakukan itu. Saya belum tahu bagaimana strukturnya nanti, tetapi tidak semua direktorat jenderal di Kementerian Perdagangan bisa masuk ke Kementerian Luar Negeri. Ini akan menjadi beban bagi siapa pun yang memimpin (menterinya)," ujarnya.
Hikmahanto berpendapat, ada beberapa masalah teknis di Kementerian Perdagangan yang di luar kemampuan Kementerian Luar Negeri sehingga perlu kajian mendalam. Terlebih jika menteri luar negerinya, misalnya seorang diplomat yang kurang paham kebijakan perdagangan.
"Kalau benar nanti disatukan, pasti ada direktur jenderal yang harus dipindah dari Kementerian Perdagangan ke kementerian lain, misalnya, Kementerian Koperasi dan UMKM. Lalu bicara ekspor impor juga, produk impor seperti ayam, daging, hingga sayur dan buah itu kan juga melibatkan Kementerian Pertanian, bagaimana produk impor tidak mengganggu petani dan peternak lokal. Jadi ada fungsi-fungsi teknis yang tidak bisa masuk ke Kemenlu," tuturnya.
Sementara itu, politisi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, menilai akan sangat sulit melebur dua kementerian itu, terlebih tidak semua orientasi Kementerian Perdagangan berurusan dengan luar negari.
"Bila meleburkan kementerian luar negeri dengan seluruh fungsi kementerian perdagangan, saya rasa sulit karena tidak semua fungsi kementrian perdagangan itu berorientasi luar negeri. Banyak yang berorientasi dalam negeri seperti penguatan perdagangan dalam negeri, standardisasi, pemberdayaan konsumen dalam negeri dan lainnya," kata mantan anggota Komisi I DPR lalu yang kini terpilih kembali.
Ia menjelaskan, Kementerian Luar negeri adalah salah satu yang nomenklaturnya jelas ada di UUD 45 dan tidak bisa diubah sembarangan.
Menurut dia, jika ada penggabungan fungsi seperti yang disebutkan dalam UU Kementerian 39/2008 dan Perpres Nomor 7/2015 mengenai Organisasi Kementerian Negara 2015, ini bisa dilakukan beberapa opsi.
"Kiranya memang Presiden ingin menyederhanakan koordinasi dalam hal Perdagangan Luar Negeri (DAGLU) ke dalam organisasi Kementrian Luar Negeri, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama tentu jenis perdagangan nya, apakah ekspor atau impor atau dua-duanya? Karena kompleksitas nya misal koordinasi hulu hilir importasi barang mentah industri. Atau meningkatkan ekspor nya saja. Atau memang seluruh fungsi DAGLU," katanya.
Sementara itu, ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, menilai, wacana penggabungan Kemenlu dengan Kemendag bukan sebagai solusi untuk memperbaiki perekonomian.
"Masalah perdagangan ini kan masalah lintas sektoral, belum tentu jika digabungkan akan berdampak kepada kerja perkonomian, ekspor khususnya. Belum akan terlihat dalam jangka waktu pendek. Apalagi tahun depan diprediksi akan terjadi resesi ekonomi global," kata dia.
Justru sebaliknya, jika hal itu dilakukan, diprediksi akan menimbulkan permasalahan baru, yakni pada kinerja para ASN.
Lantaran dua kementerian tersebut memiliki tupoksi yang berbeda. Di mana Kemenlu lebih kepada urusan diplomasi, sementara Kemedag terkait dengan perekonomian ekspor impor.
"Dari situ SDM-nya perlu persiapan, karena penggabungam fungsi itu bisa menurunkan motivasi dari para ASN atau pejabat di dua kementerian itu, karena core-nya berbeda. Akan ada ego sektoral yang tidak selesai, yang akan menimbulkan masalah koordinasi," katanya. [jpg]