RADIKALISME masih menjadi paham yang menyebar bebas di negeri ini. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah tidak menjadi jaminan bahwa paham radikalisme yang berjubah agama tidak ada lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Apalagi radikalisme mendapat tempat istimewa untuk tumbuh dan berkembang di kampus-kamupus yang notabenenya merupakan tempat kaum intelektual yang tidak hanya menjadi standar intelektual bagi masyarakat, tetapi juga menjadi standar moral bagi masyarakat di luar kampus. Maka tak heran kalau paham radikalisme akan begitu mudah dan cepat masuk dan memengaruhi masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute selama Februari sampai April 2019 terhadap 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia, ditemukan masih banyak wacana dan gerakan keagamaan yang bersifat eksklusifitas. Kesepuluh PTN tersebut telah terpapar paham radikalisme. Empat di antara sepuluh PTN itu adalah kampus unggulan di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tentu ini akan menjadi ancaman serius jika dibiarkan begitu saja. Radikalisme masih akan menjadi hantu bagi bangsa dengan aksi-aksi ekstrimismenya atau tindakan-tindakan kekerasannya yang bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan menimpa siapa saja. Dan aksi dan tindakan itu mulai kelihatan di publik.
Aksi Mujahid 212 misalnya. Di balik aksi itu terungkap ada rencana untuk membuat kerusuhan dengan melakukan pengeboman. Salah satu yang diduga penggeraknya seorang dosen di IPB. Dosen yang berinisial AB itu diduga terlibat merencanakan kerusuhan di tengah demonstrasi, di mana sebanyak 29 bom ikan berdaya ledak tinggi yang dibuat dan disimpan di rumahnya di Bogor yang akan diledakkan pada pada saat aksi Mujahid 212. Alhamdulillah rencana aksi ekstrimisme ini cepat diketahui dan berhasil digagalkan.
Selain itu juga ada peristiwa penculikan dan penganiayaan yang menimpa Ninoy Karundeng, seorang pegiat media sosial yang merupakan Relawan Jokowi. Ia dianiaya hingga babak belur dan diseret ke dalam masjid, bahkan berdasarkan pengakuannya ia diancam akan dibunuh. Salah satu dari 13 tersangka penculikan dan penganiayaan itu adalah Sekjen PA 212, Bernard Abdul Jabbar.
Selain kejadian di atas, ada kejadian yang paling terbaru dan sangat mengejutkan publik, yaitu insiden penikaman terhadap Menkopolhukam RI, Wiranto saat menghadiri sebuah acara di Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang, Banten pada Kamis 10 Oktober 2019. Ia nyaris terbunuh. Pelaku merupakan pasangan suami istri, dimana menurut salah satu saksi di tempat kejadian, sang istri pelaku memakai cadar. Ditengarai ada indikasi kedua pelaku telah terpapar paham radikalisme.
Kita ketahui bersama bahwa Wiranto merupakan pejabat negara yang selalu muncul di publik lewat media massa dalam hal pembubaran HTI dan juga menyuarakan pembubaran perlawanan terhadap ormas-oramas radikal lainnya yang ada di Indonesia. Tentu sosok dan keberadaaannya akan menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok radikal. Mungkinkah ada kaitannya dengan insiden penikamannya dengan itu? Kita tunggu hasil penyelidikan kepolisian tentang motif pelaku yang menikam Wiranto.
Rentetan kejadian yang terjadi dalam dua minggu terakhir ini menjadi gambaran bahwa aksi radikalisme dan ekstrimisme berbaju agama masih sangat membahayakan bangsa. Apalagi inisiden terakhir yang menimpa Menkopolhukam RI merupakan pukulan telak bagi Negara bahwa bangsa kita belum aman dari radikalisme dan ekstrimisme. Seorang pejabat negara dengan berbagai fasilitas pengamanan khusus saja bisa menjadi korban, apalagi masyarakat biasa yang tanpa pengamanan khusus.
Sebelumnya ancaman pembunuhan terhadap pejabat negara sudah diungkapkan oleh Kapolri dalam jumpa persnya pada Mei 2019. Ada empat pejabat negara yang menjadi sasaran pembunuhan, yaitu Wiranto, Luhut Binsar Panjaitan, Budi Gunawan, dan Gories Mere. Mereka para pengancam adalah orang-orang yang terpapar paham radikalisme dan ekstrimisme yang ingin mengganti Pancasila dan NKRI dengan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Tentu tidak berlebihan jika kita menyatakan bahwa keamanan nasional kita masih dalam tanda tanya. Belum selesai masalah di Papua. Belum selesai ribut-ribut masalah demo mahasiswa. Kita kembali dihantui dengan rentetan aksi radikalisme berbaju agama yang menambah ancaman keamanan nasional negara Indonesia.
Olehnya itu, di akhir tulisan ini penulis berharap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo khususnya di periode keduanya saat dilantik 20 Oktober nanti agar segera bergegas untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya mencegah, memberantas dan membersihkan radikalisme dan ekstimisme di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Tentu dengan langkah-langkah yang terstruktur, sistemis dan masif (TSM) yang melibatkan kerjasama berbagai elemen masyarakat. Semoga masyarakat tidak merasa takut sekalipun radikelisme, ekstrisme dan terorisme adalah hantu, karena terorisme sesungguhnya ingin menciptakan rasa takut di tengah-tengah masyarakat.
Muhiddin Nur
Penulis adalah Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII