logo
×

Minggu, 06 Oktober 2019

Jebakan Personalisasi Partai Politik

Jebakan Personalisasi Partai Politik

OLEH: YUDHI HERTANTO

GESTUR tidak bersalaman petinggi partai politik itu tampil di layar kaca. Publik melakukan penilaian soal disharmoni relasi partai koalisi. Arah politik partai menjadi bagian dari personalisasi gerak-gerik para ketua partai sebagai tokoh utama.

Para pembesar partai politik, merupakan aktor penting kehidupan sebuah organisasi kepartaian. Terlebih dalam memandang budaya politik di Indonesia. Hubungan patron-klien menjadi model keterkaitan antara ketua-ketua partai dengan para anggotanya.

Proses pembentukan partai politik di tanah air pascareformasi memang kerap kali diinisiasi oleh seorang tokoh maupun figur yang berperan sentral. Tidak hanya itu, sang aktor pun memiliki ruang dominasi di dalam sistem kepartaian tersebut.

Maka tidak salah, bila penilaian publik tentang relasi antarpartai, dicerminkan melalui gestur para petinggi partai. Situasi ini menghadirkan apa yang disebut sebagai personalisasi partai politik.

Pada tahap awal pembentukan partai, peran personal tokoh kerap muncul. Harus diimbangi dengan kemampuan edukasi, rekrutmen, dan pergantian peran di dalam organisasi setelahnya.

Kegagalan Rotasi Tokoh

Kehadiran partai-partai yang berkontestasi sejak era pemilu pascareformasi 1999, menghadirkan fenomena ketokohan yang menjadi episentrum dinamis sebuah partai. Termasuk di dalamnya memainkan peran sebagai inisiator, pendiri bahkan menjadi ketua partai itu sendiri.

Situasi yang terus berkembang, bila tidak diimbangi dengan mekanisme demokratisasi internal partai, maka akan kesulitan dalam melakukan suksesi serta regenerasi kepemimpinan partai. Dengan begitu, skema penunjukan secara aklamasi untuk kembali menjadi ketua maupun pemimpin partai menjadi fenomena ritual dalam setiap kongres.

Walhasil, tongkat estafet kepemimpinan partai akan menempatkan diri sebagai hak prerogatif bagi para figur sentral tersebut. Perluasan wilayah kekuasaan pengelolaan kepartaian akhirnya jatuh kepada segelintir elite, yang kini lazim disebut sebagai oligarki.

Sebelumnya, kemandekan demokrasi internal partai, akan menghadirkan timbulnya dinasti politik. Karena arah dan garis kepemimpinan dilihat dari aspek silsilah keturunan penerus partai atas kedekatan pada figur tokoh sentral partai tersebut, sebagai bagian dari darah biru dan trah ningrat partai.

Sirkulasi kekuasaan yang terbatas ini, menciptakan tokoh partai yang memiliki peran otoritatif dan hegemonik. Menjadi penguasa organisasi, dalam makna yang sempit sebagai pemilik partai. Daya kepemimpinan hegemonik tersebut, membuat para figur utama sulit bertukar peran dan posisi.

Efek Pemilu Langsung
Pada konteks demokrasi, aspek eksternal yang terkait dengan sistem pemilihan telah mengalami perubahan, terutama terkait dengan proses pemilihan langsung kepala daerah dan presiden. Situasi tersebut. Mengakibatkan terkikisnya legitimasi peran tokoh sentral kepartaian.

Kandidat yang muncul dalam ranah politik, diisi dengan wajah-wajah baru. Indikator utamanya adalah popularitas dan elektabilitas.

Pemilihan langsung, menjadi killing field bagi tokoh penguasa partai yang hanya kuat di dalam tubuh organisasi tetapi lemah untuk sosialisasi diri ke publik.

Namun, para figur sentral partai tersebut, masih memiliki karisma bahkan dapat menjadi daya dukung untuk menjadi vote getter secara terbatas.

Di sini letak pangkal soalnya, tokoh yang dimajukan pada proses pemilihan bukanlah tokoh utama internal partai. Kerap kali juga tokoh baru yang dijajaki karena dongkrak popularitas.

Dengan begitu, mudah dipahami bila pemilu langsung mampu mengorbitkan tokoh baru dengan kekuatan branding yang besar, termasuk kemampuan mengelola diri untuk piawai di depan sorot media. Para media darling kemudian menjadi sosok yang dicermati oleh petinggi partai untuk dikontestasikan.

Jika kemudian menang dan terpilih, maka akan ada situasi seolah matahari kembar dalam kekuasaan kepemimpinan. Hal ini dikarenakan tokoh yang memenangi kontestasi politik tidak memiliki daya pengaruh dalam tubuh partai. Sementara peran elite dan oligarki partai mempunyai daya tawar tinggi bagi arah kebijakan pemimpin terpilih.

Paradoks kepemimpinan terjadi.

Sekali lagi, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah demokratisasi internal partai, agar tidak terjadi personalisasi partai politik.

Terlebih karena figur karismatik dan hegemonik di dalam tubuh partai, bisa menjadi otoritas yang seolah tanpa cela dan kesalahan. Bila demokratisasi internal partai tidak terjadi, maka wajah demokrasi kebangsaan mengalami kesuraman!

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: