DEMOKRASI.CO.ID - Badan Pengurus Nasional (BPN) Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) menggelar dialog terbatas dengan Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Erna Rosdiana di kantor BPN ALMISBAT, kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Direktur PKPS Kementerian LHK, Erna memaparkan program perhutanan sosial yang berjalan saat ini sesungguhnya telah membutuhkan sebuah proses panjang sampai pelaksanaannya bisa seperti sekarang ini.
Proses panjang itu, diawali ketika pasca reformasi 1998, pemerintah mulai mengembangkan inovasi baru, yaitu harus adanya keadilan bagi masyarakat sekitar di area perhutanan yang dikelola oleh pengusaha.
Menurut Erna, sejak 1998 sampai 2007 adalah proses dimana perhutanan sosial tengah diperjuangkan masuk dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diawali ketika pemberlakukan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
“Di UU nomor 41 ini memang sudah banyak nuansa kerakyatannya, tetapi ternyata tidak bisa langsung saat itu karena butuh Peraturan Pemerintah (PP)," jelas dia saat dialog, Jumat (11/10).
Erna menambahkan, dalam proses selanjutnya barulah Peraturan Pemerintah (PP) 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, soal Perhutanan Sosial mulai diatur, terutama terkait dengan pemberian akses legal kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan.
Namun demikian, tegas Erna, puncak dari pelaksanaan Perhutanan Sosial adalah ketika Joko Widodo menjabat sebagai Presiden RI sejak 2014.
Hal itu ditandai dengan komitmen Jokowi mengedepankan sisi keadilan kemudian Pemerintah juga sangat komit dengan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar memberi ijin.
Erna mengakui, sebelum era Pemerintahan Jokowi program perhutanan sosial berkembang dengan sangat lamban. Hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya political will dari pemerintahan saat itu.
“Sampai sebelum 2016 perhutanan sosial berkembang tetapi sangat lamban karena political will lemah. Di KLHK sendiri ada pro dan kontra. Memang tataran implementasi masih banyak hambatan dan butuh perbaikan," ujarnya.
Menurutnya, program perhutanan sosial semakin membaik ketika Presiden Jokowi menetapkannya sebagai program strategis nasional ketika menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
“Ini terobosan baru dari Presiden Jokowi. Beliau selalu mengingatkan kami bahwa Perhutanan Sosial merupakan bagian dari pemerataan ekonomi yang berlandaskan penyediaan lahan, pengembangan usaha dan peningkatan kapasitas SDM," kata Erna.
Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Hingga akhir September pencapaiannya sudah terealisasi 3,4 juta hektar.
"Karena itu, Kementerian LHK telah membentuk Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial. Tim ini bekerja dengan rule based, makanya kalau ada gugatan, kami selalu menang," tegas Erna.
Sementara, Ketua Umum BPN ALMISBAT, Hendrik Sirait mengatakan, reforma agraria yang paling baik saat ini sesungguhnya adalah Perhutanan Sosial.
“Esensi dari Perhutanan Sosial bahwa negara tidak kehilangan aset dan masyarakat juga tidak kehilangan hak," tegas Hendrik.
Menurut Hendrik, Perhutanan Sosial adalah program terobosan Presiden Jokowi yang outputnya sangat jelas, yaitu keberpihakan dan keadilan.
Hendrik pun berharap kedepannya perlu ada pemetaan atau maping agar terlihat peran Kementerian/Lembaga selain Kementerian LHK.
“Jadi bisa terlihat intervensi kementerian atau lembaga dari sisi mana. Sehingga 2 tahun setelah kabinet yang baru ini terbentuk sudah kelihatan wujud nyatanya," pungkasnya. [rm]