DEMOKRASI.CO.ID - Jelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Maruf Amin beragam manuver dilakukan para menteri agar bisa dipertahankan. Beragam pernyataan yang seolah membela Jokowi pun diumbar ke publik untuk cari perhatian. Acapkali, pernyataan yang disampaikan justru blunder.
Dalam kasus terakhir, pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menyoroti pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyinggung aktivitas buzzer atau pendengung pendukung Jokowi di Pilpres 2019 lalu.
Mantan panglima TNI itu menilai kehadiran para buzzer Jokowi usai pilpres justru merugikan. Padahal awalnya, buzzer memperjuangkan dan menjaga marwah pemimpinnya. Atas alasan itu, Moeldoko menilai buzzer politik harus segera dibubarkan.
"Karena kalau buzzer-buzzer ini selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati. Nah itu lah destruktif dan itu sudah enggak perlu lah. Untuk apa itu?" tuturnya di Jakarta, Jumat (4/9).
Hendri Satrio menangpak hal menggelitik dari pernyataan Moeldoko. Salah satunya tentang keberadaan buzzer yang ternyata pernah menguntungkan bagi Jokowi.
“Oh pernah menguntungkan berarti ya Pak?” sindirnya dalam akun Twitter pribadi.
Menurutnya, pernyataan Moeldoko yang bertujuan untuk mencari perhatian itu justru akan merugikan Jokowi. Hensat, sapaan akrabnya, menilai, Moeldoko akan semakin merugikan Jokowi jika terus-terusan berbicara.
Konsekuensinya, jika Jokowi rugi, maka Moeldoko tidak akan dipilih lagi untuk mendampingi di periode kedua.
Atas alasan itu, pendiri lembaga survei Kedaikopi tersebut mengajari Moeldoko rumus jitu agar tetap dipertahankan Jokowi di periode kedua.
“Kalau bapak keseringan ngomong, maka makin merugikan Jokowi, pak. Bener deh, ini masukan aja pak. Rumusnya gini pak, makin dikit bicara, makin deket ke kursi menteri, gitu pak,” tutur Hensat. [rm]