DEMOKRASI.CO.ID - Keputusan Prabowo Subianto dan Partai Gerindra bergabung dengan pemerintah, disesali sebagaian publik, utamanya para pendukungnya selama ini.
Demikian disampaikan pengamat politik Adi Prayitno kepada JawaPos.com, Senin (21/10/2019).
Adi pun menilai keputusan tersebut sangat aneh. Terlebih pada pilpres lalu, kedua kubu benar-benar sangat terbelah.
BACA: Kronologis Lengkap Kedatangan ke Istana dan Kasus di KPK, Ini Pengakuan Tetty Paruntu
Bahkan, terbelahnya kedua kubu itu sampai diikuti dengan tindakan-tindakan tak masuk akal oleh para pendukung masing-masin kedua kubu.
Semisal pasangan suami-istri yang bercerai atau makam yang dibongkar lantaran berbeda pilihan politik.
Aksi kedua kubu itu pun disebut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu telah membuat kerukunan antarumar manusia morat-marit.
“Ini kok tiba-tiba kelompok elite yang menjadi simbol pertikaian itu justru berkongsi jelang akhir pembentukan kabinet,” heran dia.
Dari hasil survei yang dilakukannya, sebanyak 42 persen publik menginginkan Prabowo tidak bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Menurutnya, bergabungnya kubu oposisi khususnya Prabowo ke pemerintah telah mengorbankan banyak aspirasi publik.
Kondisi ini, sambungnya, jelas hanya membuat masyarakat lah yang menjadi korbannya.
“Inilah saya kira satu pertontonan di mana elite tidak memikirkan kehendak rakyatnya,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, juga membuktikan bahwa elite politik sejatinya tak memikirkan rakyatnya.
“Ini adalah satu pemandangan dimana elite tidak memikirkan aspirasi rakyatnya,” terang Adi.
Atas dasar itu, Adi menduga bergabungnya Prabowo ke pemerintah akan mematikan oposisi.
Sehingga, ke depan tidak ada lagi pihak yang mengontrol jalannya pemerintahan.
“Jadi, oposisi ini di ambang sakaratul maut, karena sudah tidak ada yang bisa diharapkan oleh PKS,” ulasnya.
Sementara, PKS disebutnya tidak berpeluang signifikan karena suara politik yang ada di pemerintahan semuanya voting.
“Itu artinya, 40 persen suara PKS tidak ada artinya melawan kelompok penguasa pemerintah,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al Habsy mengatakan, sepengetahunnya, Prabowo adalah tipe orang yang kerap ewuh pakewuh.
Kalau ditawari untuk membangung bangsa, Prabowo diyakininya sulit untuk menolak.
“Kesiapan beliau (Prabowo) untuk untuk membantu kabinet adalah pilihan sikap yang kami pahami,” kata Aboe, Senin (21/10/2019).
“Barangkali beliau berpikir banyak hal yang bisa dikerjakan dalam kabinet,” lanjutnya.
Kendati demikian, Bendahara Fraksi PKS ini mengingatkan bahwa pilihan Prabowo itu membawa konsekuensi tersendiri.
Terutama bagi mereka yang pada Pilpres 2019 lalu berjuang untuk memenangkan pasangan Prabowo-Sandi.
Sebab, ia menilai, para pendukung lebih suka yang kalah akan berada di barisan oposisi.
Terlebih, sambungnya, oposisi sangat dibutuhkan untuk menjaga pemerintahan sekaligus menjalankan fungsi check and balance.
“Bisa jadi Pak Prabowo sudah menghitung risiko itu,” katanya.
Karena itu, Aboe menegaskan bahwa Prabowo juga harus siap kalau nanti para pendukungnya masih konsisten menjadi oposisi.
“Semua juga dilakukan untuk kebaikan bangsa dan negara ini,” pungkasnya. [ps]