DEMOKRASI.CO.ID - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lndonesia sempat berjaya pada pada tahun 1980-an. Puncak dari kinerja industri tekstil terjadi pada 2007.
Tahun itu, industri ini mampu mencatat surplus produk tekstil hingga mencapai USD7,8 miliar meskipun pada tahun 2001 hanya surplus USD5,2 miliar. Namun, satu dekade berikutnya, surplus terus tergerus.
Pada 2008, surplus industri tekstil hanya mencatatkan nilai sebesar USD5,04 miliar. Sementara, pada 2018 menurun drastis menjadi USD3,2 miliar.
“Penyebab utama adalah gempuran tekstil impor yang berasal terutama dari China,” ujar Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad lewat keterangan pengantar diskusi Indef bertajuk “Upaya Penyelamatan Industri Tekstil Indonesia” di Jakarta, Rabu (30/10).
Indef memaparkan, beberapa faktor yang mendorong gempuran tekstil impor di antaranya manajemen Pusat Logistik Berikat (PLB). Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan yang longgar memberikan celah impor besar dan tidak terkendali.
Permendag Nomor 64/M-DAG/PER/8/2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 85/IVLDAGIPER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil dinilai berdampak pada semakin derasnya laju impor produk TPT.
Pemerintah berencana untuk merevisi dan menggantikannya dengan Permendag Nomor 77. Namun demikian, revisi regulasi tersebut dirasa masih menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku industri.
“Seperti belum transparannya kuota impor hingga belum terlihat upaya untuk membatasi Pengusaha dalam Pusat Logistik Berikat (PDPLB) untuk memperjualbeiikan barang langsung ke pasar domestik,” kata Tauhid. [ns]