DEMOKRASI.CO.ID - Seorang reporter wanita dari media, Narasi TV mendapat perlakuan intimidasi dan tindakan kekerasan dari oknum aparat. Insiden itu terjadi saat yang bersangkutan meliput aksi bentrokan antara anak STM dengan aparat kepolisian di sekitaran gedung DPR RI.
Wartawati itu bernama Vany Fitria. Kepada Kantor Berita Politik RMOL, Vany membeberkan tindakan intimidatif aparat yang mengawal aksi pelajar STM tersebut.
Vany menjelaskan, kejadian tindakan yang dialaminya terjadi pada Rabu (25/9) malam di Jalan Gatot Subroto. Tepatnya di bawah Flyover Senayan, persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Gerbang Pemuda, dekat restoran Pulau Dua.
Kala itu, Vany sedang melakukan perekaman video saat aparat menembakkan gas air mata terhadap massa anak STM dengan menggunakan ponselnya.
"Aku lagi ngeliput keadaan itu massa STM melawan polisi. Aku lagi ngeliput ambil (ngerekam) video polisi ngelempar (menembakkan) gas air mata," ucap Vany Fitria kepada Kantor Berita Politik RMOL di Polda Metro Jaya, Jumat (4/10) malam.
Tak lama kemudian, Vany mengaku dihampiri oleh segerombolan aparat keamanan yang menggunakan seragam serba berwarna hitam.
Kedatangan mereka bukan tanpa maksud, melainkan langsung menginterogasi Vany dan melarang untuk merekam video.
"Terus banyak polisi datang ke aku, waktu itu mereka (bilang) jangan ngerekam, kamu mau ngapain mbak, kamu siapa," jelasnya.
Mendengar itu, Vany menjelaskan bahwa dirinya merupakan seorang wartawati yang sedang melakukan tugas peliputan. Dia juga menunjukkan kartu identitasnya sebagai reporter dari media Narasi TV.
Namun tiba-tiba, kata Vany, dia langsung dipukul oleh aparat lain yang menggunakan tameng dari arah belakang. Tak sampai di situ, ponsel yang digenggam Vany juga langsung dirampas oleh oknum aparat tersebut.
"Terus aku dipukul sama tameng di belakang, abis itu HP aku diambil, mereka gak bilang a, b, c langsung ambil saja," ungkapnya.
Usai dirampas, oknum aparat tersebut membanting ponsel milik Vany ke aspal hingga rusak. Tak lama kemudian, saat oknum tersebut hendak mengambil ponsel yang telah dibanting, salah seorang oknum lainnya langsung mengambil ponsel tersebut dan membawanya ke kerumunan anggota aparat lainnya.
"Abis itu dibanting di aspal pas mau dibanting lagi ada temannya ngambil HP itu, terus dibawa ke kerumunan pletonnya, jadi ibaratnya polisi (berbadan) gede-gede (berseragam) hitam-hitam semua aku nggak ngerti mukanya, siapa namanya, siapa," terangnya.
Melihat itu, Vany mengaku hanya pasrah karena tidak berani untuk meminta ponsel miliknya dirampas karena dibawa ke kerumunan puluhan aparat.
"(Hingga saat ini) belum dikembaliin juga dan nggak ada," katanya.
Sehingga, Vany mengaku hanya berharap agar pelaku tindakan intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap wartawan segera ditangkap dan diproses secara hukum.
Dengan didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Vany telah melaporkan kasus ini ke Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya. Dia berharap kasus ini segera diproses dan naik meja hijau.
“Diusut tuntas, untuk menegakkan UU Pers. Ke depannya supaya tidak ada kejadian serupa," tandasnya. [rm]