DEMOKRASI.CO.ID - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, munculnya larangan berunjuk rasa menjelang dan saat pelantikan presiden-wakil presiden periode 2019-2024, baru kali ini terjadi sepanjang era reformasi.
Pangi khawatir larangan dari kepolisian dengan alasan penggunaan diskresi bakal mengganggu iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi jika alasan penggunaan diskresi terus dipakai, tak hanya 15-20 Oktober.
"Sebetulnya kalau dilihat fenomena yang ada, baru kali ini terjadi. Di pelantikan sebelumnya tak pernah dilarang. Kenapa harus ada kekhawatiran seperti ini, mungkin hanya Polri yang tahu," ujar Pangi kepada jpnn.com, Jumat (18/10)
Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini kemudian menegaskan, dari sisi ketertiban dan keamanan, larangan yang ada memang tak masalah.
Namun dari sisi kebebasan berpendapat menyampaikan aspirasi, memunculkan persoalan. Pasalnya, konstitusi menjamin kebebasan warga negara menyampaikan pendapat di muka umum.
Karena menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi konstitusi, maka menurut Pangi, mestinya diskresi kepolisian tidak sampai menghambat masyarakat melakukan aksi unjuk rasa.
"Jadi intinya, kalau hanya dibatasi tidak boleh berunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR pada 15-20 Oktober, tidak terlalu masalah betul. Tetapi kalau terus berlanjut setelah 20 Oktober, tentu menjadi masalah besar," pungkas Pangi. [jpg]