logo
×

Selasa, 08 Oktober 2019

Agenda Reformasi Terbukti Gagal, Setelah ini Apa?

Agenda Reformasi Terbukti Gagal, Setelah ini Apa?

Oleh Tom Pasaribu 

Pemerintahan Orde Baru yang dikomandoi Alm Soeharto ditumbangkan dari tahta Kepresidenan oleh aktivis pada tahun 1998 karena dugaan kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Meskipun sebelumnya pada tahun 1997 tepatnya tanggal 27 juli, atau yang dikenal dengan Kudatuli dimana pada saat itu partai PDI terbagi dua kubu antara Megawati dengan Suryadi.

Kantor pusat PDI yang dikuasai oleh kubu Megawati direbut oleh kubu Suryadi dengan bantuan pemerintah. Akibatnya, pecahlah kerusuhan disekitar jalan Diponegoro dan sekitar salemba, situasi politik yang tidak kondusif pada saat itu dimanfaatkan kelompok maupun organ-organ masyarakat untuk menggulingkan Soeharto.

Namun, mahasiswa dan rakyat tidak bergeming untuk membantu menggulingkan Soeharto karena kasus tersebut dianggap perseteruan partai.

Berikutnya krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 diramu menjadi isu propaganda, yang mana bahwa krisis terjadi disebabkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.

Isu ini kemudian membakar amarah dan semangat rakyat, sehingga tanpa dikomando rakyat turut membantu aktivis  melengserkan Soeharto dari kursi Presiden melalui kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di beberapa bagian kota besar di indoneisa dan kerusuhan yang terbesar berada di Jakarta.

Saat itu memang sedang terjadi krisis finansial/ekonomi di asia secara menyeluruh. Artinya bukan karena kasus korupsi Indonesia menjadi krisis moneter.

Kala itu, demo besar-besaran tejadi disebahagian Provinsi di wilayah Indonesia, namun yang terbesar di Ibu Kota Negara Indonesia yaitu Provinsi DKI Jakarta. Dampaknya, rakyat banyak yang meninggal akibat kerusuhan dan penjarahan. Mereka ada yang terperangkap dalam Gedung pusat perbelanjaan yang dibakar. Sedangkan mahasiswa ada yang meninggal tertembak peluru tajam di depan Universitas Trisakti.

Hal ini lantas semakin membakar semangat aktivis mahasiswa dan rakyat sehingga wilayah kekuasaan DPR RI di Senayan dikuasai oleh mahasiswa dan rakyat.

Demi terciptanya situasi yang kondusif, di Istana dengan arif dan bijak Soeharto pun menyerahkan tahta ke Presidenan kepada Wakilnya BJ Habiebie untuk meneruskan roda pemerintahan serta mempersiapkan Pemilihan Umum secepatnya sesuai tuntutan mahasiswa dan rakyat; masuk ke Pintu Gerbang Reformasi.

Walaupun pada saat itu Soeharto sebenarnya bisa saja mempertahankan kekuasaannya, namun Soeharto memilih tapa brata tanpa melakukan tindakan apapun, dengan lapang dada Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Agenda Reformasi Dimulai

Setelah perjuangan mahasiswa dan rakyat berhasil menumbangkan rezim orde baru, lahirlah sebuah organisasi baru ditengah-tengah rakyat indonesia yang diberi label Aktivis 98. Di mata rakyat para aktivis ini sangat harum namanya bak sekuntum bunga kenanga yang harumnya semerbak menghiasi taman.

Sesuai dengan tuntutan rakyat dan aktivis, akhirnya Indonesia melaksanakan Pemilihan Umum tanggal 7 Juni 1999 untuk memilih DPR, DPRD Provinsi, kabupaten/kota, serta Pemerintahan yang baru pula, dengan tujuan untuk menciptakan perubahan yang fundamental terhadap perekonomian rakyat secara luas serta menciptakan iklim politik yang sejuk.

Hasil pemilu 1999, sebagai Partai pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan sebagai partai pemenang Pemilu pada saat itu sudah seharusnya Ketua Umum PDIP menjadi Presiden RI. Tetapi, entah apa alasannya dalam sidang MPR pemilihan Presiden Abdul Rahman Wahid yang dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden.

Selanjutnya, pada tanggal 14-21 Oktober 1999 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945. Awal dari berubahnya tujuan Bangsa Indonesia serta bergesernya kultur perpolitikan di Indonesia.

Sebelum UUD 1945 di amandemen, Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politik yaitu kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudikatif.

Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), setelah UUD 1945 di amandemen kita tidak tau sistem apa sebenarnya yang dianut pemerintahan Indonesia saat ini. Di sisi lain, kedaulatan yang awalnya berada di tangan Rakyat sepenuhnya mulai digerus berpindah ke partai politik.

Harapan rakyat atas janji-janji politikus serta partai politik yang menyebut Reformasi sebagai wujud perubahan rezim untuk mencapai masyarakat Adil dan Makmur sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945 semakin tinggi.

Di tengah perjalanan pemerintahan Gus Dur, elite partai dan politikus tiba-tiba memaksa Gus Dur turun dari tahta Presiden. Entah apa sebabnya, tapi beredar kabar bahwa Gus Dur tersandung kasus korupsi Brunei dan Bulog. Sehingga pada tanggal 23 Juli 2001 Presiden Gus Dur pun harus menelan pil pahit karena dilengserkan oleh MPR dengan tuduhan korupsi.

Namun, saya melihat alasan yang paling tepat Gus Dur dilengserkan dikarenakan sikap Gus Dur yang tegas, lugas serta fenomenal dan memiliki jiwa nasionalisme sejati. Hal ini sangat mengganggu agenda para politikus yang ingin menggeser tatanan berbangsa dan bernegara.

Tahta kepresidenan pun kemudian beralih kepada Megawati Soekarnoputri untuk meneruskan jalannya roda pemerintahan, yang didampingi Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.

Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden Megawati membentuk Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Komisi antirasuah ini didirikan berdasarkan kepada undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Rakyat Indonesia semakin yakin dan percaya bahwa cita dan asa Bangsa akan segera tergapai, dan Negara Indonesia semakin kuat karena terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan dibentuknya Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para koruptorpun mulai ditangkap KPK serta menjebloskannya kepenjara.

Dalam masa kepemimpinan Megawati Otonomi Daerah juga diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839).

Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah.

Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, sehingga Kepala Daerah Gubernur, Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat.

Rakyat Indonesia tetap bersabar menanti perubahan yang dijanjikan para elit partai dan politikus bahwa dengan lengsernya Soeharto Indonesia akan lebih baik serta terbebas dari Korupsi, kolusi dan nepotisme. Di saat Rakyat sedang risau dan panik akibat krisis moneter yang berkepanjangan, elite partai dan politikus menawarkan suatu obat formula untuk mengalihkan perhatian Rakyat dari penderitaan krisis moneter dengan memberikan kewenangan kepada rakyat untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota secara langsung atau yang kita kenal dengan Pilkada.

Alasannya, agar terjadi pemerataan ekonomi, sebelumnya Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Kini diserahkan kepada rakyat untuk memilih langsung sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam undang-undang.

Artinya, elite partai dan politikus memberitahukan kepada rakyat secara tidak langsung bahwa pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/kota membutuhkan biaya yang besar, daripada hanya anggota DPRD yang menikmati  lebih baik dilibatkan rakyat menikmatinya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, elite partai dan politikus telah melakukan perangkap kepada rakyat agar terlibat melakukan tindak pidana korupsi secara langsung dan merata, sebab setiap calon kepala daerah harus menyiapkan modal yang begitu besar untuk dapat memenangkan pemilihan kepala daerah, di tengah-tengah rakyat sudah bukan rahasia umum saat ini siapa yang berani bayar lebih mahal itu yang akan dipilih, bukan lagi program dan visi misi yang dijual.

Mungkin hal ini sengaja diusulkan elite partai dan politikus sebagai bentuk pembungkaman terhadap rakyat, akhirnya korupsi pun semakin subur bak jamur yang tumbuh di musim penghujan.

Selanjutnya, pada Tahun 2004 Indonesia kembali melakukan Pemilu untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Presiden langsung dipilih oleh rakyat. Usulan elite partai dan politikus ini langsung disambut rakyat dengan senang hati tanpa mengerti apa maksud dan tujuannya.

Rakyat pun merasa senang dan bangga karena diberikan hak dan kewenangan untuk memilih calon yang diusung oleh partai. Mereka tidak sadar bahwa makanan yang dihidangkan elite partai dan politikus adalah racun yang sangat berbahaya yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa.

Dan sebagai pemenang Pilpres pada Tahun 2004-2009 adalah pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, pada akhir masa jabatan SBY yang pertama menjelang Pilpres tahun 2009, terjadi krisis moneter di Negara Amerika.

Century Dirampok

Dengan alasan krisis, SBY sebagai Presiden mengeluarkan Perppu untuk menyelamatkan perbankan khusunya Bank Century. Gernyata alasan tersebut kurang tepat keberadaannya, dengan pasal 22 UUD 1945 Presiden SBY dan Boediono sebagai Gubernur BI membobol keuangan Negara Triliunan rupiah dengan dalih menyelamatkan Bank Century dari kehancuran. Akhirnya pemilik Bank Century dijebloskan ke penjara, sementara Boediono mendapat posisi baru menjadi Wakil Presiden terpilih 2009.

Dalam kasus Bank Century yang terkenal dengan Centurygate KPK sebagai Lembaga ujung tombak pemberantasan korupsi diuji keberadaannya untuk menuntaskan kasus centurygate.

Situasi perpolitikan pada saat itu sangat tidak kondusif dengan adanya kasus centurygate, bahkan DPR RI sampai membentuk pansus untuk menuntaskan kasus korupsi centurygate. Harapan rakyat terhadap pansus DPR sangat tinggi dapat membuktikan kasus centurygate sebagai kasus korupsi. Sayangnya, pansus DPR masuk angin dalam menuntaskan kasus centurygate sebab DPR bukan menuntaskan kasus korupsi tetapi lebih berperan dalam politik dan perundang-undangan.

Dalam kasus centurygate ini KPK juga gamang untuk menuntaskan sesuai dengan hukum yang berlaku. Inilah awal kehancuran Lembaga KPK sebab yang seyogianya KPK harus memeriksa Boediono dan Sri Muliyani di Gedung KPK ternyata KPK memeriksa Boediono dan Sri Muliyani di kantor masing-masing dengan alasan tidak ada waktu.

Akhirnya, kasus centurygate tidak tuntas secara hukum dan politik. Meskipun begitu jelas bahwa UUD 1945 digunakan untuk membobol keuangan negara, sampai saat ini penyelesaian kasus centurygate tidak jelas rimbanya.

Akhirnya, kita menyimpulkan bahwa keberadaan KPK yang sebenarnya bukanlah untuk kepentingan rakyat dan Bangsa Indonesia secara menyeluruh, namun lebih cenderung memenuhi hasrat dan keinginan kelompok tertentu saja.

Perjalanan periode ke dua Soesilo Bambang Yudhoyono juga tidak seperti yang diharapkan Rakyat Indonesia. Sebab anggota DPR dari Partai Demokrat yang di komandoi SBY banyak terjerat kasus korupsi dan yang paling dahsyat adalah kasus korupsi Nazarudin yang hampir terjadi disegala lembaga pemerintahan.

Bahkan, karena kasus korupsi Nazarudin sampai diungsikan ke luar negeri. Dalam kasus korupsi Nazarudin dari sekian banyak kasus, hanya beberapa yang dituntaskan oleh KPK. Kasusnya dipilah-pilah, meskipun pada saat itu pihak KPK mengatakan bahwa Indonesia bisa bubar bila seluruh kasus Nazarudin dibongkar.

Tapi, kenyataannya sampai saat ini Indonesia masih tetap berdiri kokoh. Atau mungkinkah KPK memilah kasus korupsi yang dilakukan Nazarudin untuk menyelamatkan kelompok oknum-oknum yang terafiliasi dengan KPK?

Faktanya, sampai berakhirnya masa bhakti Presiden SBY kasus penjarahan uang Negara yang terkenal dengan Centurygate, korupsi Nazarudin, korupsi hambalang tinggal menjadi kenangan.

Era Jokowi

Kemudian, era berikutnya, pada Pilpres tahun 2014 rakyat Indonesia memberikan pilihan terhadap Joko Widodo dikarenakan janji kampanyenya yang begitu menggiurkan hati rakyat dengan mengusung program Bung Karno “Nawacita”.

Awalnya, roda pemerintahan Jokowi berjalan mulus, namun semangat reformasi yang katanya akan membuat perubahan dari korupsi, kolusi dan Nepotisme semakin menjadi-jadi, banyak Politikus, Ketua Umum, maupun pengurus Partai serta Pejabat Negara terjaring KPK dengan kasus korupsi.

Selama lima tahun pemerintahan Jokowi, korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang biak semakin subur. Bertolak belakang dengan cita-cita keberadaan Lembaga KPK untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Namun, harus juga kita akui begitu dahsyat pembangunan insfratruktur yang dilakukan Presiden Jokowi di berbagai pelosok Tanah Air. Sayangnya kebijakan Presiden Jokowi tidak didukung dengan Undang-undang, tetapi hanya dengan Keputusan Presiden (Kepres), yang artinya pembangunan insfratuktur tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku bahwa seharusnya pembangunan insfratruktur tersebut harus diatur dengan UU di APBN yang telah mendapat persetujuan dari DPR.

Sepertinya sikap Jokowi menunjukkan kepada rakyat bahwa Lembaga DPR kurang dapat dipercaya atau memang tidak mendukung program pemerintah sehingga Jokowi harus membuat aturan sendiri dan dikerjakan sendiri pula.

Pemilu Tahun 2019 sebahagian Rakyat Indonesia memberikan kepercayaan pada Jokowi untuk kembali menjadi Presiden, dalam prosesnya Pemilu Tahun 2019 adalah pemilihan yang tidak layak dilaksanakan terlebih Pilpres yang seharusnya diulang karena tidak sesuai dengan aturan dan peraturan.

DPR sebagai pembuat undang-undang harus bertanggungjawab, namun DPR RI diam seribu bahasa. Akibatnya kegaduhan Pilpres 2019 tidak terelakkan, bahkan MPR yang seharusnya mengambil tindakan penyelamatan, juga tidak melakukan apa-apa.

Meskipun saya tidak mau menyebutkan dalam tulisan ini, tapi harus kita akui begitu hebatnya keberuntungan Jokowi di Pilpres Tahun 2019, sebab meskipun pihak Prabowo-Sandi membawa sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi kuasa hukum maupun saksi-saksi yang mengungkapkan fakta pelanggaran di Pilpres 2019 tidak ada yang dapat mengetahui permasalahan yang sebenarnya walaupun sebenarnya hal itu jelas di depan mata sebagai pelanggaran konstitusi.

Seandainya pihak Prabowo-Sandi menggugat hal tersebut maka Pilpres 2019 wajib hukumnya diulang, namun MK sudah membuat keputusan yang mengikat dengan menolak gugatan Prabowo-Sandi sepenuhnya. Kini, Prabowo-Sandi harus berjiwa besar dan lapang dada walaupun membaca tulisan ini, sebab Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan kemenangan Jokowi-Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 secara resmi.

Dalam Pemilu 2019 semakin sempurna dan semakin terbukti bahwa reformasi bukan bertujuan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Dikarenakan setiap tahun korupsi dan kolusi semakin subur dan merajalela.

Hal ini dapat kita lihat dan buktikan dengan banyaknya ketua umum dan pengurus partai tersandung korupsi, sementara nepotisme dapat kita lihat dan buktikan  dengan jelas bahwa seluruh ketua umum partai lebih mengutamakan keluarganya menjadi anggota DPR RI, DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota, maupun menduduki posisi pejabat negara, dan yang paling hebat di Pemilu 2019 yang lalu, ketamakan dan haus kekuasaan itu dihidangkan kepada rakyat Indonesia dengan cara membiarkan keluarga Gubernur, Bupati/Walikota ikut caleg dari partai yang terdaftar sebagai peserta Pemilu 2019.

Tentu kans mereka lebih besar untuk terpilih untuk menduduki kursi DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebab para kepala daerah tersebut akan lebih mudah untuk melakukan intervensi terhadap seluruh perangkat pemerintahan dan Lembaga penyelenggara pemilu.

Maka dengan kejadian ini rakyat Indonesia tidak perlu untuk berharap dengan cita-cita Bangsa yang telah ditorehkan pendiri Bangsa dalam Preambul Undang-Undang Dasar 1945 untuk saat ini, biarlah cita-cita tersebut kita jadikan mimpi indah dalam perjalanan Bangsa ini, menunggu Sang Khalik menurunkan utusannya membenahi semua ini.

Sekedar mengingatkan agar para elite maupun pemimpin partai tidak lupa peninggalan Bung Karno ini:

“Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada diatas rakyat”

Rindu Pak Harto 

Kita harus mengakui bahwa, rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Pak Harto masih jauh lebih baik dalam menjalankan pembangunan dan roda pemerintahannya. Sebagaimana faktanya, dalam Repelita II dan III pembangunan berjalan sesuai yang diharapkan rakyat karena di era tersebut Indonesia berhasil dengan swasembada pangan.

Sementara perjalanan Rezim Reformasi yang berlandaskan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme belum membuahkan hasil yang positif sampai saat ini.

Kini, di usianya yang ke 21 tahun rezim reformasi telah berhasil menyuburkan serta memakmurkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan, pencetus Reformasi itu sendiri pun saat ini terlibat langsung menyuburkan KKN.

Kini, para aktivis 98 yang benar sebagai korban, pelaku, ikut-ikutan maupun yang mengaku-ngaku sebahagian telah mendapat posisi di pemerintahan dan DPR dan ada juga yang jadi pengurus partai.

Masih ingat ngak ya mereka kenapa harus melengserkan Soeharto?, jangan-jangan mereka sedang bermimpi indah karena pulas tidurnya diterpa sejuk dan dinginnya ruangan ber-AC.

Yang sangat mengganggu bagi rakyat Indonesia saat ini adalah dialih fungsikannya Pancasila, UUD 1945, UU serta aturan dan peraturan sebagai benteng untuk melakukan tindak pidana korupsi serta merebut jabatan.

Hal ini hampir terjadi di semua lembaga pemerintahan di pusat maupun daerah. Bahkan aturan yang sudah jelas-jelas bunyi perintahnya, masih diminta penjelesannya terhadap lembaga pembuat aturan agar dapat dijadikan benteng dalam hal melakukan tindak pidana korupsi secara berjamaah dengan selamat.

Siasat Politik Ala Jokowi

Dalam segala kekurangannya sebagai Presiden, awalnya saya sangat kagum dan hormat terhadap Jokowi. Awalnya beliau mencegah dan melarang keluarganya terlibat dalam dunia politik.

Keluarganya disarankan lebih baik menjalankan bisnis yang jauh dari hiruk pikuk politik, seperti penguasa martabak dan penguasa goreng pisang. Eh, ternyata itu hanya sebuah strategi untuk memuluskan pemenangan di periode ke dua. Setelah keinginan menjadi Presiden kedua kalinya tercapai, babak baru pun dimainkan Jokowi untuk menguasai sebahagian wilayah Indonesia.

Tidak tanggung-tangung, sang anak maju calon Walikota Solo, sementara menantunya maju jadi calon Walikota Medan. Artinya, beliau juga diam-diam sudah merancang melakukan nepotisme yang baik dan adil.

Bahkan belum dilantik menjadi Presiden di periode ke dua, lantunan lagu merdu tentang GBHN serta amandemen UUD 1945 sudah dikumandangkan dengan lirik yang indah meskipun belum terdengar nyaring seperti lolongan srigala di malam hari.

Masihkah ada secerca harapan buat rakyat indonesia menikmati cita-cita Bangsa yang telah ditorehkan dengan tinta mas di Preambule UUD 1945?

Mungkin untuk saat ini hal tersebut tidak dapat terwujud melihat sikap elite partai dan politikus yang tamak dan serakah atas kekuasaan dan jabatan. Sebab memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia secara luas akan sangat menggangu agenda mereka.

Hebatnya lagi, Jokowi-Maruf Amin sebagai pemenang pilpres 2019 belum dilantik, sebahagian elit politik telah mengumandankan lagu rock n roll untuk calon Presiden tahun 2024, mantap betul perpolitikan di Indonesia jaman ini.

Wajar bila sebahagian pihak mengatakan  Indonesia akan hancur dan tiada pada tahun 2030, hal ini mereka ungkapkan dengan melihat sikap penguasa-penguasa elite politik. Tetapi, saya kok yakin betul Indonesia tidak akan hancur, yang paling mungkin terjadi Indonesia adalah kembali ke sistem pemerintahan masa kerajaan dulu atau menjadi negara bagian.

Sebagai dasar untuk kembali ke masa kerajaan atau negara bagian adalah berlakunya Otonomi Daerah. Sadarkah pencetus otonomi daerah bahwa yang dilakukan adalah untuk mengembalikan sistem pemerintahan yang menganut sistem kerajaan?

Sudah saatnya Rakyat bangkit merebut kedaulatan yang telah dirampok serta disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, rakyat sudah kehilangan jati diri semenjak dilakukan Amandemen UUD 1945.

Sementara bila rakyat tidak memberikan pilihan satu suara pun terhadap partai yang bertarung dalam Pemilu, mereka tidak akan jadi apa-apa selain menjadi pengurus dan pekerja Partai. Sudah selayaknya Rakyat Indonesia berpikir dua kali untuk memberikan suaranya terhadap partai-partai peserta Pemilu mendatang.

Kita tidak usah memilih partai dan caleg yang diusung oleh partai, cukup kita memilih calon Presiden sesuai dengan selera kita masing-masing.

Sebab keberadaan Lembaga DPR RI saat ini hanya diisi oleh anggota partai yang harus mau dan tunduk terhadap keinginan partai. Bukan tunduk kepada Pancasila, UUD 1945 serta cita-cita Bangsa demi kepentingan seluruh Rakyat Indonesia secara merata.

Bangkitlah wahai Rakyat Indonesia dari tidurmu, sudahi mimpi-mimpi tidurmu dari keterpurukan, tangis dan dukamu, semua itu diciptakan agar perhatianmu tidak tertuju pada niat-niat kelompok tertentu menggeser Pancasila dan UUD 1945 dari rumah dan instananya.

Kobarkan kembali semangatmu untuk menyelamatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mari kita maknai dari hati yang paling dalam  ucapan Bung Karno :

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri”

Mari kita bergandeng tangan bersama-sama menyingsingkan lengan baju tuk melawan para kurcaci-kurcaci yang haus akan kekuasaan dan jabatan, sebelum skenario yang mereka bangun semakin kokoh.

Saat ini elite politik sedang membangun opini dan loby politik, agar anak-anak penguasa partai dapat bertarung di Pilpres Tahun 2024, kemasannya lebih agresif serta menjual tokoh muda untuk menarik simpatik kaum milenial, mengingat usia mereka yang sudah uzur ditahun 2024.

Pilpres 2024, Dukung Anak Pak Harto?

Bagaimana kalau boleh saya mengusulkan rakyat kembali mendukung keluarga Pak Harto jadi calon Presiden tahun 2024?

Dengan segala konsekuensinya, siapa pun diantara anak Pak Harto maju jadi calon Presiden mereka sudah mapan dalam finansial. Disisi lain, mereka sedikit banyak sudah memahami kepemimpinan dan penyelesaian masalah Bangsa.

Atau pilihan lainnya kita mencari sosok dari Jendral Militer sebagai calon Presiden tahun 2024, mengingat disiplin militer sangat tinggi serta memiliki wawasan nasionalis yang luas, tegas, lugas, berwibawa, serta tidak berafiliasi dengan partai.

Saat ini, tidak terlalu banyak pilihan yang kita miliki sebagai Rakyat Indonesia, namun kita harus mengambil sebuah sikap dan keputusan yang tepat untuk penyelamatan hak dan kedaulatan Rakyat Indonesia secara hakiki dan merdeka.

Sebagai penutup semoga seluruh rakyat Indonesia mengerti dan memahami pesan pendiri Bangsa ini:

“Tuhan tidak merobah nasib suatu Bangsa, sebelum Bangsa itu merobah nasibnya” pidato Bung Karno pada acara HUT Proklamasi 1964.

Salam Nusantara R A H A Y U

Salam Nasional M E R D E K A

#SAVEUUD45

#Tompas The Ghembel Pinggiran (*)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: