Oleh: Wenry Anshory Putra*
DULU saat Gerakan Reformasi 1998 bergulir di Jakarta, saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD).
Saya tidak tahu apa yang terjadi saat itu, selain menyaksikan melalui televisi banyaknya mahasiswa yang berada di jalan-jalan, ada yang menggunakan jaket almamater kampus dan ada pula yang tidak, sesekali terjadi bentrok antara prajurit ABRI dengan mahasiswa.
Belakangan, saya mengetahui bahwa yang saya saksikan melalui TV adalah aksi demonstrasi mahasiswa.
Saya tidak mengerti apa tuntutan mahasiswa, karena untuk anak SD seperti saya yang diketahui hanyalah "ramai-ramainya". Namun, ada istilah sangat fenomenal yang melekat dalam pikiran saya yaitu "anti kolusi, korupsi dan nepotisme" (Aanti KKN)".
Singkat cerita Presiden Soeharto mundur, lalu digantikan dengan Presiden BJ Habibie dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa tetap berjalan dan saya bisa menyaksikannya melalui TV.
Pada awal menjadi mahasiswa, barulah saya mengenal lebih dalam apa-apa yang diperjuangkan oleh kakak-kakak kita pada masa 1998, nilai-nilai perjuangan dan kisah-kisah heroik yang belum pernah saya tahu sebelumnya, ditambah perkenalan saya dengan beberapa orang yang pernah terlibat langsung di lapangan.
Itulah salah satu alasan mengapa saya memutuskan untuk melibatkan diri dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa.
Singkat cerita, mulailah saya tahu nama beberapa aktivis 1998 dan LSM. Bahkan dengan beberapa di antaranya pernah bersama-sama dalam satu barisan mengkritisi Presiden SBY.
Jokowi Sumber Masalah Dari Segalanya
Sekarang di antara mereka ada yang berada pada lingkaran kekuasaan, misalnya; Teten Masduki, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu, Fadjroel Rachman, Wahab Talaohu, Faisol Reza, dan lain-lain.
Bagi saya mereka hanya bermain di pinggiran, lebih memilih menjadi "pemain figuran" daripada "aktor utama" dalam meluruskan arah bangsa yang makin melenceng.
Mereka masih berkoar-koar sebagai aktivis 1998, namun pada saat yang bersamaan idealisme mereka telah rusak.
Reformasi yang telah berjalan 21 tahun sekarang ini terpuruk dan demokrasi yang konon mereka perjuangkan sedang dikebiri oleh kebijakan-kebijakan kekuasaan yang mereka dukung. Lalu, apakah mereka masih pantas berkoar-koar sebagai aktivis 1998?
Sejujurnya, saya sebagai "anak kemarin sore" merasa geli menyaksikan kelakuan mereka yang menjadi pendukung dan penikmat kekuasaan ini. Mereka memberikan contoh yang sangat buruk untuk adik-adiknya mahasiswa yang saat ini mengkritisi kekuasaan, ditambah lagi rasa kemanusiaan mereka yang telah mati.
Sebut saja seperti Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu, Faizal Assegaf, Budiman Sudjatmiko, dan Fadjroel Rachman. Mereka pada era pemerintahan SBY getol mengkritisi.
Bahkan, mereka juga memberi dukungan mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, dan lain-lain. Sekarang? Mereka justru fanatik buta terhadap kekuasaan yang didukung!
Kalaulah hati mereka tulus pastilah nuraninya berontak mendengar dan menyaksikan tewasnya 10 orang berusia muda dalam aksi 21-23 Mei, penderitaan masyarakat Sumatera dan Kalimantan yang terdampak kabut asap, pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain-lain.
Mereka Teten Masduki, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu, Wahab Talaohu, Faisol Reza, Faizal Assegaf, dan konco-konconya pendukung dan penikmat kekuasaan layak disebut sebagai penjilat dan pengkhianat.
*) Jurubicara Front Aksi Mahasiswa (FAM) Indonesia 2012-2014.