DEMOKRASI.CO.ID - Salah satu hasil revisi RUU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang sudah disahkan menjadi UU oleh DPR adalah menambah kursi pimpinan MPR sesuai jumlah fraksi yang duduk di parlemen ditambah satu wakil dari unsur DPD.
Artinya pada periode 2019-2024, jumlah pimpinan MPR totalnya ada 10 orang dengan rincian 9 orang diwakili unsur parpol/fraksi, sementara DPD hanya satu orang perwakilan.
Banyak pihak yang menilai komposisi ini menandakan wajah parlemen Indonesia adalah partai politik, sementara calon DPD yang independen dan representasi rakyat di daerah cuma pelengkap.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan hukum dan politik mengatakan, komposisi pimpinan MPR lewat revisi UU MD3 yang begitu banyak memberi porsi kepada partai menjadi tantangan besar bagi semua anggota DPD terpilih 2019-2024.
Tantangan ini adalah kemauan bergerak bersama memperjuangkan agenda-agenda penguatan DPD sesuai amanat reformasi yaitu menjadi lembaga yang mengawasi (checks) dan mengimbangi (balances) kekuasaan DPR dan pemerintah.
"Jangan sampai satu orang wakil DPD RI di MPR cuma penghias. Siapapun nanti yang terpilih mewakili DPD RI menjadi pimpinan MPR haruslah orang yang punya paradigma bahwa saat ini peran dan fungsi DPD RI sedang dibonsai oleh konstitusi. Dengan kesadaran ini, anggota DPD RI yang terpilih tersebut akan menjadikan kursi pimpinan MPR sebagai medan perjuangan penguatan DPD agar menjadi lembaga yang efektif mengawasi dan mengimbangi kekuasaan DPR dan Pemerintah," tukas Fahira, Rabu (18/9).
Senator Jakarta ini mengungkapkan, publik harus disadarkan bahwa salah satu faktor kekisruhan yang terjadi belakangan ini terkait proses legislasi (misalnya revisi RUU KPK, RUU KHUP, RUU Pertanahan, dan lainnya) serta pemilihan komisioner/anggota lembaga-lembaga penting negara misalnya KPK adalah akibat dari sistem dua kamar di parlemen Indonesia yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Idealnya DPD sebagai kamar kedua diberikan kewenangan untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Jika ada 'kekuatan' ketiga, sambung Fahira, yang diberi kewenangan secara maksimal mengawasi proses legislasi dan pemilihan berbagai anggota lembaga negara yang saat ini menjadi kekuasaan mutlak DPR dan pemerintah, maka berbagai kekisruhan yang terjadi belakangan ini bisa dihindari.
Oleh karena itu sudah saatnya ada pembenahan besar-besaran sistem ketatanegaraan Indonesia di mana salah satunya, kodrat DPD yang memang dilahirkan sebagai lembaga penyeimbang dikukuhkan dalam konstitusi. Proses pembenahan ini bisa terwujud jika pimpinan DPD termasuk yang menjadi wakil di MPR nanti berani dan mempunyai kemampuan menggalang dukungan publik.
"Jika DPD RI kewenangannya kuat, maka rakyat bisa menggunakan lembaga DPD RI sebagai 'teman' yang berjuang bersama untuk mengoreksi keputusan DPR dan pemerintah. Tidak seperti sekarang, apapun yang diputuskan DPR dan pemerintah kita harus menerima. Ke depan saya pribadi ingin pimpinan DPD RI termasuk wakil di MPR nanti berani melakukan dobrakan dan kritis terhadap DPR dan pemerintah," tutup Fahira. [rm]